Overblog
Folge diesem Blog Administration + Create my blog

Über Diesen Blog

  • : MANUAMAN LAKAAN NAIN - SANG PESIARAH
  • : My own writings - about: culture and anthropology, philosophy and theology,history, religion etc., in indonesian, german, english and Tetun (Timor), etc. Seperti gado-gado - wie gemischter Salat - semuanya dapat dibaca dalam blog in - also alles in Allem .... enjoy aja - viel Spaß dabei -
  • Kontakt

Profil

  • MANUAMAN LAKAAN - (LORO BEREK)
  • Mag. Theol. Puplius M. Buru Loro Berek alumnus STFK Ledalero, alumnus universitas Wina-Austria. Berkarya di Austria. Kontak: pupliusmeinrad@yahoo.com
Interesse: sejarah-budaya, Lingkungan hidup,  Keadilan HAM perdamaian - Filsafat - teologi
  • Mag. Theol. Puplius M. Buru Loro Berek alumnus STFK Ledalero, alumnus universitas Wina-Austria. Berkarya di Austria. Kontak: pupliusmeinrad@yahoo.com Interesse: sejarah-budaya, Lingkungan hidup, Keadilan HAM perdamaian - Filsafat - teologi

Suchen

Archiv

20. Mai 2014 2 20 /05 /Mai /2014 23:32

MENGENAL TEMPAT WISATA DI LAHURUS – LASIOLAT

(Puplius MBL Berek)

 

Wisata Gunung Lakaàn

DSC04879Lahurus dan kecamatan Lasiolat (seperti juga kecamatan Lamknen, Lamaknen Selatan, Raihat dan Tasifeto Timur) teretak di kaki gunung Lakaàn. Gunung yang merupakan ikon kabupaten Belu ini sering juga dikenal dengan nama adat: Manuaman Lakaan (Sa kmanek kmesak – Bau Dini Kmesak, Rai husar - Rai binan).  Dalam cerita (mitos) orang Belu, gunung ini merupakan tempat asal mula leluhur asli orang Timor yang turunannya kemudian kawin dengan para pendatang di Belu lalu menyebar  memenuhi wilayah Belu  dan Timor. Dari puncak Lakaàn  kita bisa menikmati pemandangan yang indah sampai ke batas Laut utara dan Selatan. Di sini juga telah disediakan dua tempat wisata rohani dengan patung Bunda Maria (Ema Belu nian Naì Feto) dan patung hati kudus Jesus sebagai Rai Belu nian Nai Loro Liurai. Para pengunjung bisa juga mengisi waktu di tempat ini dengan berdoa ataupun merayakan ekaristi.DSC05718

Untuk mencapai puncak Lakaàn ada beberapa rute yang bisa ditempuh. Rute terdekat dan termuda adalah dari padang Fulanfehan di wilayah Lamaknen Selatan. Rute lainnya adalah dari Lahurus (bisa melalui desa Lakanmau lalu putar ke arah Balokama, atau dari tempat strat yang lasim di kampung Maulakak di desa Dualasi - Raiùlun  – ke atas bukit Lakmau lalu ke dataran Balokamafehan). Tentu ada orang yang ingin mencari tantangan dan mendaki langsung dari arah bukit Kotamutin. Tapi medan yang berat di rute ini sangat membahayakan keselamatan dan hanya boleh didaki dengan para pengantar yang mengenal baik rute ini.

Untuk pulang bisa ditawarkan satu rute menarik tapi juga menantang, menyusuri punggung perbukitan sebelah barat (kira-kira sejajar dengan perkampungan Maudemu-Beisurik) –  lalu turun ke sungai Mota Harewe – menyusuri kaki bukit Kotamutin ke arah sungai Motaklot lalu naik ke arah kampung Weklekat di desa Lakanmau lalu kembali ke Lahurus.PICT0174.jpg

 

Benteng Kotamutin

PICT0146-Kopie-1.jpgSaat penjajah Portugis datang ke daerah Timor bagian tengah, penguasa dan sebagian penduduk  Fialaran masih menetap di perbukitan Dualasi-Lasiolat dan di sekitar daerah Baiboke – We Knuk.  Penjajah Portugis kemudian meminta izin untuk menetap juga dan mendirikan gereja di Baiboke. Tetapi karena kecemasan bahwa ema mata makerek (malae mutin) tentu akan merebut kekeuasaan di Fialaran, penguasa Fialaran-Lasiolat kemudian menolak mereka dan menyuruh mereka  pergi ke lereng gunung Lakaan. Mereka kemudian mendirikan perkampungan dengan benteng mereka di atas bukit yang kemudian dinamakan  Kotamutin Ren (artinya: bukit perkampungan orang kulit putih).

Di tempat ini masih ditemukan satu Benteng dan 2 buah meriam. Tempat ini pernah didaftar menjadi salah satu Situs sejarah dan wisata kabupaten Belu, tetapi nasibnya kini sangat memprihatinkan.  

 

Ksadan Fatulotu, Ksadan  Fatubesi, Ksadan Loò Has

482142 4036745910491 103554890 nKsadan merupakan kompleks bangunan tua, terletak di atas bukit dan biasanya  dikelingi pagar batu. Dulunya Ksadan merupakan tempat konsentrasi pemerintahan adat, tempat pertemuan para pemimpin kerajaan. Tiga Ksadan yang masih terpelihara di Lasiolat-Lahurus  adalah: Ksadan Fatulotu, Ksadan Meo no Kaà - Ksadan uma kukun Fatubesi dan Ksadan tua Loò Has.

Ksadan tertua adalah Ksadan Loò Has, yang terkenal dengan politik pemerintahan Bei Manlima dan masih ditempati sampai pada waktu pemerintahan Ato Nahak - Suri Berek. Lapangan umumnya (tempat berpesta/halo dahur) adalah dataran Halibaki – sekarang lapangan kecamatan PICT0148Lasiolat sekarang. Di ksadan ini pernah terjadi perundingan untuk menyelesaikan persaingan politik antara penguasa Fialaran yang menetap di bukit  Bauho dan dan yang menetap di Lasiolat. Persaingan ini diselesaikan dengan futu manu (taji/sabung ayam) antara aman Silole dan aman Silasi. Bauho menang,  di sini ditetapkan gelar penguasa Fialaran dari Lasiolat sebagai Loro Rai Nain – Loro Foho Nain  dan Bauho sebagai Loro Foho Leten – Loro fatuk Dikin. Turunan Ato Nahak – Suri Berek kemudian memindahakan tempat pemerintahan ke Fatulotu. Di sini dibangun Ksadan agung Fatulotu  yang tetap dihuni sampai masa pemerintahan Nai Faru Berek.  Sedangkan Ksadan Fatubesi mulanya dibangun sebagai Ksadan Meo no Kaa (sebagai tempat pertemuan para panglima perang Fialaran). Dua peristiwa perang yang sangat erat kaitannya  dengan  Ksadan ini adalah Perang Lakmau dibawa pimpinan  Meo besar Rai Dikur Suri (Suri Asten) dan perang Kowa – Railekis dibawa pimpinan pahlawan wanita Meo Baru Bauk. Ksadan ini sampai sekarang masih terpelihara dengan sangat baik.  

 PICT0058.jpg

Wisata alam dan rohani Rai  Lahurus

07879.jpgLahurus (dari kata la borus) terletak di tengahKapela.jpg wilayah Fialaran dan Lasiolat. Keindahan dan kesejukan Lahurus merupakan daya tarik bagi banyak orang untuk mengunjungi tempat ini. Bahkan penjajah Portugis dulu pernah mendirikan tempat peristirahatan di Lahurus (Irimida) dan para Misionaris memilih Lahurus untuk menjadi pusat misi Katolik di Timor. Ada beberapa tempat  yang menarik untuk dikunjungi di Lahurus. Tempat Pertama tentunya sumber Air Lahurus yang kini dialirkan juga sampai ke kota Atambua. Legenda07840.jpg munculnya air Lahurus sangat erat kaitannya dengan peristiwa pengusiran anggota Suku Melus. Air ini di-faen (dibeli) Secara  mistis-adat dari we lulik (sumber air suci) di Turiskain Weroat – Korluli Bau Saèn (di Distrik Bobonaro, Negara Timor Leste). Sebagian besar orang Lahurus tentu menggantungkan kehidupan mereka pada jasa sumber air Lahurus. Daerah persawahan bertingkat di sekitar sumber air ini sangat indah untuk dinikmati. Tidak jauh dari Lahurus ada juga air terjun Ruwele dan danau Debu Bot yang belum dijamah/ditata secara baik. Semuanya tentu merupakan aset wisata yang menanti jamahan tangan-tangan kreatif. Selain wisata alam ada juga wisata rohani, di antaranya gereja tua yang terbuat dari batu alam. Gereja St. Petrus Lahurus ini merupakan induk bersejarah dari   gereja-gereja di Timor Barat. Tugu kenangan Misi Jesuit DSC07812.jpg(SJ) dan Serikat Sabda Allah (SVD) berdiri megah di samping gereja. Di sana berdiri juga satu biara tua, biara susteran SSpS pertama di Timor. Tidak jauh dari tempat ini ada gua Maria Ratu Rosario Fatubesi yang dipahat pada batu karang di bawah rimbunan pohon beringin. Di Raman Krus (0,5 KM dari sentrum Lahurus ) masih berdiri  megah Salib dengan dua kayu palang yang ditanam oleh para pengikut St. Farnsiskus Xaverius (ket. di dekat tempat ini telah didirikan SMUK Mgr. Gabriel Manek svd).  Salib itu ditemukan07883.jpg kebali oleh para misioDSC 2566naris Jesuit saat mereka menjelajah daerah Fialaran. Kira-kira 1,5 KM ke arah barat ada kampung tua Ailomea, yang telah berubah menjadi satu tujuan siarah di Timor. Di Ailomea pernah berdiri kapela pertama dari para misionaris Jesuit250759 384889268245923 1389281887 n (sebelum pindah ke sentrum Lahurus). Kampung ini adalah tempat kelahiran Mgr. Gabriel Manek svd imam dan uskup pribumi pertama di Nusa Tenggara dan pendiri tarekat suster PRR. Di tempat ini telah didirikan  satu biara PRR dengan kapela dan museum yang megah. Dan tidak jauh dari Ailomea, ada juga salib kenangan di Lafuli, tempat di mana para misionaris Jesuit bertemu dengan raja guna  meminta izin untuk bermisi   di Fialaran dan sekitarnya.182629 1743463339860 8091580 n

 

 

Inilah sedikit gambaran singkat mengenai Lahurus (Lasiolat) di jantung Fialaran. Selamat mengenal dan selamat datang di Lahurus. Tanah leluhurmu menanti kedatanganmu. 

Diesen Post teilen
Repost0
10. Juli 2010 6 10 /07 /Juli /2010 14:43

Puisi Bahasa Tetun untuk Mgr Gabriel Manek, SVD

(dibacakan oleh Ny. Theresia Neoman  saat misa di gereja Katederal Atambua)

 

 

Manuaman Lakaan, manu aman meo

Kokorek nosi Loro sa’e, to’o loro toba

Katak no nasara manfatin maromak

Katak no nasara badu Maromak

Nosi Lahurus to’o Larantuka

Nosi Larantuka tuka Colorado

 

We Lahurus, matan Lahurus

Ba dudu haris Wewe Seseik mesak

We Lahurus suli liu na, we Lahurus la’o liu na

Nodi namoris nodi namos

Hutun raiklaran renu raiklaran

Lituk no bali ina no ama, Lituk no bali nan no feton

Nalo nu ida, nalo nu kmesak

Nalo nu ida, nalo nu nesan

 

Rai Flores rai ai funan

Rai Larantuka kota Renya

Timor morin ai kamelin

Timor bit fatu hada

O rai Belu rai furak no kmidar

Rai Belu nafini rai Belu nafua

Mane diak mane kbas

Mane matenek no laran kmamar

Ne’e mak bei Nai Bispo Gabriel Manek SVD

Ba sasoka nola ba dadula nola

Rai Larantuka kota Renya

Dadi ba Maromak nian foho rai

 

Matan taka na lian nanok na

Ilas no ar moris no hun

Manuaman Lakaan manu aman meo

Kokorek nosi manfatin maromak , Nai Luli wai’k

Nosi Lahurus tuka Larantuka

Nosi Colorado tuka Larantuka

Natetuk bele mai na nesan bele mai na

Hodi dadoko hodi dadula

Hodi tanis hodi hahi

Ami hatetu ami haluli

Bei nai Manek Ama Bispo Manek

Ninin ba ne’e na batis ba ne’e na

 

 

Keterangan untuk puisi di atas:

Puisi ini merupakan kenangan dan sanjungan untuk  Mgr. Gabriel Manek  SVD yang telah mengharumkan nama Belu. Putra-putri Belu seperti dia biasanya diibaratkan dengan Manuaman Lakaan (bahasa Tetun: sang Jago atau ayam jantan dari Lakaan = gelar penguasa Belu dan sebagian  wilayah Timor tengah dan Timur). Nama Mgr. Gabriel Manek disanjung-sanjung dalam puisi ini sekaligus jasa-jasanya dikisahkan lewat puisi ini.

Bait 1: dia laksana Pahlawan,  sang jago dari Lakaan   yang berkokok dari Timur hingga ke barat - untuk mewartakan sabada dan perintah Tuhan – berawal dari Lahurus hingga ke Larantuka dan Colorado.

Demikian pun putra-putra Lakaan yang berjasa diibaratkan dengan suber air Lahurus yang sangat berjasa untuk sebagian masyarakat Belu. Bait 2.: Ia laksana air Lahurus yang mengalir ke mana-mana untuk memberi kesegaran  dan membawa kehidupan dan kebersihan bagi banyak umat di dunia – dan mengumpulkan mereka manjadi satu dan sederajat.

Bait  3.: mengisahkan jasa Mgr. yang telah berhasil membangun persaudaraan antar orang Timor dan Flores, khusunya orang Larantuka dan Orang Belu: Flores Pulau bunga, Larantuka kota Renya – Timor harum cendana dan kuat laksana karang, Belu tanah indah yang melahirkan putra terbaik – dia yang pergi meminang Kota Larantuka untuk menetap dalam  kerajaan Allah.

Bait 4.: Sehebat apa pun, seorang manusia suatu saat di akan kembali ke sumber kehidupan. Ajakan untuk semua umat, semoga semua hadir untuk menjemput dan mengarak dan member hormat kepada sang pahlawan, putra sejati dari Lakaan

 

 

 

Diesen Post teilen
Repost0
18. März 2010 4 18 /03 /März /2010 22:12

 

SEBUAH SYAIR SAPAAN WAKTU PESTA KENDURI UNTUK KELUARGA RAJA

DARI FIALARAN (LASIOLAT)*


Nai oan hat, nai feton hat - noi rona nola, natene nola

tala lia kukun, baba lia naruk - asu malae, manu malae

noi no lian, noi niri lian - ne'e foho bot, ne'e rai bot

nee Bauweku, ne'e Leowes - ne'e Lasiolat, nee Dualasi

ne' klobor inan, ne'e salak inan - ne'e Raman rabi, ne'e Lalu

ne'e uma metan, ne'e ri mean - foin asu ikun hat tula hat, manulain dadak hat

baku ibun ba, baku lian ba - foin rona nola, natena nola

tala lia kukun, baba lia naruk - foin tene mai, foin luru mai

foin nusu dikin dato, foin nusu hun dato - nusu fuan dato, nusu lahon dato

foin hau fota saka, foin fera saka - na'ak hun dato, na'ak lahon dato

na'ak dudu knurak tohar, talin dato kotu - hali muti wain Dualasi, karae wain Lasiolat

na'ak diki kmurak, na'ak abut kmurak - abut kmurak sa'e leten, diki kmurak tae tasi

Leten kotu tan hau, raik sae tan hau - foin tasi mara nodi hau, meti moti nodi hau

nakukun nodi, nakalan nodi - na'ak Tunamuti, na'ak Asukoes

na'ak We knuk, na'ak Baiboke - moti nodi hau , mara nodi hau

loro dato sani, koa dato kona - ulu koi na – tais sirak ona

foi knua hitu, foin leo hitu - no labis nen, salak nen

no Sera Kalak, no Mau Asan - no Meti Besin – no Hale Besin

no nia aman, no nia inan - foin tetuk tan, foin nesan tan

nai inan hau, nai aman hau - foin sai saka, foin sai soru

ne'e knokar , ne'e babasak - ai leon dato, ai nahun dato

foin kase saka – foin kawaka saka

neet liu tia, neet basu tia - foin kohi kola, foin dada kola

nai oan dato, nai feton dato - ba nadomi, ba nadosan

futu knase ruin, futu loli ruin - lu dato mara, kus dato mara

liman dato sa'u, lun dato turu - neet liu tia, neet basu tia

foin kohi sai, foin dada sai - ne'e labis dato, salaak dato

ruas ita feto sawa, ruas ita uma mane - feto sawa dato, uma mane dato

hakerek mutu, badaen mutu - ba takan dato kakaluk, bua dato kakaluk

halo nasudi, halo natetuk - foin seka sai, foin lori sai

ne'e sebi dato, ne'e salaak dato - rai hatete, rai hanesa

ne'e oi kmurak, ne'e mata kmurak - nai oan loro, nai feto loro

foin laku dato tan, sale dato tan - saras dato tan, batis dato tan

ba takan dato kakaluk, bua dato kakaluk - nai oan dato e, nai feton dato

hadinan malu e, haklaran malu - hase malu e, hawaka malu

 


PICT0176.jpg

SEBUAH TERJEMAHAN DAN TAFSIRAN BEBAS:


Telah terdengar oleh keempat putra mahkota**

bunyi gong kedukaan dan tabuhan panjang gendang

kerabat raja sedang menyanyikan kidung duka

di puncak bukit Bauweku – Leowes

di Lasiolat dan Dualasi

dalam tenda induk, di dalam istana raja

di Raman dan Lalu


Wahai ke-empat putra mahota

seandainya kamu telah mendengar

bunyi duka gong dan gendang

datanglah dan carilah asal usul martabatmu yang luhur

dengarkan dan ketahuilah penyebab kedukaan ini.

 

Dan akan kami katakan

telah usai kisah hidup sang raja agung dari Dualasi dan Lasiolat

yang kemasyurannya melampaui gunung dan sampai ke batas lautan

Nasib telah mrmisahkan kita

lautan berduka, bumi menjadi muram

danau Tunamuti – Asukoes, sumber air di We Knuk - Baiboke pun mengering***

sebab tempat berlindung di waktu susah dan senang telah roboh

berkabunglah, cukurlah rambut,  cabiklah pakianmu.


Datanglah wahai kelurga raja

kemarilah wahai kerabat kerajaan

masuklah bersama pemimpinmu

dibawah bimbingan Sera Kalak dan Mau Asan

di bawah naungan Meti Besin dan Hale Besin****


Barulah induk semangmu keluar menyapa

di depan gerbang mulia, dekat tenda-tenda duka

lalu mereka masuk meratap

dan membungkus jenasah dengan kain.


Seandainya tangisan telah usai

bila air mata telah dikeringkan

kembalilah ke tenda duka

di sana akan dibicarakan bersama

segala tuntutan dan denda adat.

Di sana barulah harta benda dibagi-bagikan

Di sana barulah kelayakan tanggungan kerabat raja ditakar

dan hadiah saling ditukar.


Wahai engkau feto sawa, sang putra mahkota

wahai engakau uma mane, sang putri mahkota*****

kita saling menghargai dan mangasihi

marilah kita saling menyalami




*Syair ini merupakan sapaan adat waktu seorang raja dari Lasiolat (Fialaran) meninggal dunia.

** Bekas kerajaan adat Lasiolat di Belu utara – Timor merupakan bagian terpenting dari Kerajaan Fialaran (Fialaran timur) yang membawahi 4 kerajaan adat kecil lainnya: Tohe, Asumanu, Maumutin dan Aitoun.

***Tunamuti – Asukoes, We Knuk – Baiboke: merupakan tempat-tempat kudus, di mana para raja dari Lasiolat dulu mempersembahkan korban mereka.

****Krabat raja atau Uma Metan Ato Nahak - Suri Berek (Leowes): 1. Kerabat dekat: Labis nen: yang disebutkan dalam syair: Meti Besin, Hale Besin, yang lainnya: Leki Mauk, Hale Taran.  Sedangkan kerabat jauh raja: Knua hitu: dengan Ina Amanya: Sera Kalak-Mau Asan: Tukilelo- Daomauk, Astalin, Manehitu, Lianain, Loenuak – Malinuak – Seran Nuak, Hale Atin – Mau Atin, Asa Metik – bere Metik.

*****Setiap suku di Belu punya Feto Sawa (suku pemberi/penyedia lelaki) dan Uma mane (suku penyedia gadis).

Foto: Di Ksadan Fatubesi (di Kaki gunung Lakaan-Lahurus): bersama Bpk. Willhem Ato Mauk dan penjaga rumah adat induk As(u)talin).













 

Diesen Post teilen
Repost0
24. Juli 2009 5 24 /07 /Juli /2009 23:44

 MARI BELAJAR BAHASA TETUN

MAI HANORIN LIA TETUN

1. Kata Ganti Orang:

Tunggal: S(sebagaiSubjek)-G(Genetif/kepunyaa)-D(Dativ)-A (Akusativ/Objek):

  1. hau' – hau kan – ba hau – hau

  2. o – o kan – ba o – o

  3. nia – nia kan – ba nia – nia

Jamak:

  1. ami – ami kan – ba ami – ami

  2. emi – emi kan – ba emi – emi

  3. sia – sia kan – ba sia – sia

2. Kata Kerja dan Perubahannya:

Secara umum kata kerja dalam bahasa tetun mengalami deklinasi sebagai berikut (dengan contoh pada kata ha: makan atau tanis: menangis):


Tunggal:

Kel. I. Hau tanis – o tanis – nia tanis

Kel. II. Hau ka – o ma – nia na


Jamak:

Kel. I. ami tanis – emi tanis – sia tanis

Kel. II. ami ha – emi ha – sia na


Dari contoh di atas, ada dua kata kerja sesuai deklinasinya bisa digolongkan dalam dua bagian:

  1. Yang tetap dalam bentuk infinitif dalam arti tidak mengalami perubahan seperti pada kata: tanis, tun, lao', sae', tuku, tae', toba, rona, rei', dale, kuru, monu, nani, tolak, sama, tatei, futu, kesi, hoo', ta.

  2. Yang mengalami perubahan seperti: hare, halai, haris, hakotu, ha, hemu, hein, hahonu, hasae', halai, hameno, hadahur, habusik, hanoin, hanorin, hakati. Kata-kat dalam kelompok ini paada umumnya dimulai dengan: „ha-“ Bentuk perubahannya pun mengikuti pola umum untuk kelompok II di atas:

    hau kare – o mare – nia nare – ami hare – emi hare – sia nare.

    Hau kalai – o malai – nia nalai – ami halai – emi halai – sia nalai.

    Hau kanoin – o manoin – nia nanoin – ami hanoin – emi hanoin – sia nanoin.

    Tunggal:

    I. „H“ diganti „K“

    II. diganti „M“

    III. diganti „N“

Jamak:

I. dan II. Tetap seperti pada bentuk infinitif

III. Diganti „N“ sama seperti pada orang ke-3 tunggal.

3. Kata Benda

A. Jenis kelamin:

Dalam bahasa Tetun tidak dikenal pembagia kata benda menurut Jenis kelamin seperti dalam bahasa Yunani, Latin atau Jerman. Sehingga artikel khusus pun dengan sendirinya tidak di kenal. Yang memiliki perbedaan jenis kelamin hanyalah pada hewan dan manusia. Untuk membedakan antara yang lelaki/jantan (Tetun: Mane/aman) dan yang perempuan/betina (Tetun: feto/inan) biasanya keterangan itu ditambahkan saja pada kata benda bersangkutan.

Contoh:

anak lelaki: oan mane, manusia lelaki: ema mane.

Ayam jantan: manu aman, kambing jantan: bibi aman.


Anak perempuan: aon feto, manusia perempuan: ema feto.

Ayam betina: manu inan, kambing betina: bibi inan.


B. Jumlah: Tunggal dan Jamak:

Semua kata benda disebut dalam bentuk tunggal. Kalau yang dimaksudkan adalah bentuk jamaknnya, maka biasanya hanya ditambahkan dengan jumlah atau kata „wai'n“ atau wai'n bot“. Contoh:

banyak orang: ema wai'n – sangat banyak orang: ema wai'n bot.

lima orang: ema nai'n lima – lima ekor kambing: bibi matan lima.


4. Kata Tanya:

Untuk menanyakan orang (siapa): se

Menanyakan benda (apa): sa

Untuk kepunyaan/milik: se nia kan atau bentuk pendek: se nian

Waktu: kapan: wain hira

Jumlah: dengan hira == manusia: nai'n hira – binatang: matan hira – pohon: hun hira



 


BESAMBUNG.....................




 

Diesen Post teilen
Repost0
24. Juli 2009 5 24 /07 /Juli /2009 23:42
 

LEBO AMA NO LEBO INA


Ba hori uluk an no ema nain rua mak fen no la'en. Sia rua moris nodi diak no dame, kareis iha alas bot ida. Feto ne'e nian naran Lebo Ina, nia tur iha uma dei, tan nia serwisu soru tais. Nian la'en naran Lebo Ama mak serwisu nalo to'os, tan nia nia nein dala wain iha to'os ba. Ba oras nia karawa sia mos sei bele dale hanesan ema sia. Karawa lubun ida moris halik sian uma. Ba oras Lebo Ama iha to'os ba, karawa aman bot sia mai nodi faur no namamar nima-nimak Lebo Ina, nebe nia atu soe nian la'en Lebo Ama. Mais Lebo Ina kaer metis ba sa mak nia hori uluk nameno tian no nia nakara nia kan la'en tebe-tebes. Nia la tuir ohin karawa sian faur hamamar ne'e. Ba oras nian la'en fila nosi to'os mai, nia katak nasara sa mak karawa aman bot sia nalo ba nia nima-nimak ne'e. Hotu tia sia nain rua nanoin buka dalan nodi nalatu karawa notar lalek sia ne'e. To'o ikus sia nanoin kona makerek ida mak diak basuk nodi no'o no nalatu karawa sia ne'e. Ba sesawan ida Lebo Ama la lao ba to'os. Nia lotin an nafati ba he'in fafuhun, nalo an hanesan be nia mate tian. Lebo Ina falun nia nodi biti ida, iha biti nee' laran lebi ina falon no ai dona bot ida. Hanesan wai-wain karawa sia ne'e mai nikar atu feur namamar Lebo Ina. Mais Lebo ina nalo neon at bosok no nalo nia oin hanesan ema mak kona susar bot ida. Nia mos tanis bosok hanesan ema mak don mate ida. Tan nia karawa sia nusu, tan sa mak nian neon at los. Lebo Ina simu nodi tanis, â??haun la'en foin mate. Hau kalon emi tulun hau lai atu hakoi haun laenâ??. Rona nola nia karawa sia neon diak lolos. Sia sau' leur Lebo Ina nodi tanis namutu nodi don tuir Lebo Ama. Tanis hotu tia nia nauka karawa sia kee' rate ida mak luan no klea'n tebes hodi hakoi Leb Ama halo dia-diak. Mais Lebo Ina tama ba uma laran nodi nono we ba sian sasanan hotu-hotu nalo nakali lolos. Ba oras rate nee' klean basuk tia, nia katak ba karawa sia, â??mai ita hulan hola Lebo Ama hodi hakoi laiâ??. Karawa sia nee tane malu nulan Lebe Ama mak nia falun iha bita laran nee'. Too' rate ibun ba, Lebo Ina katak ba karawa sia, â??Emi hotu-hotu tama ba rate laran hodi simu hola maten mak hau lolo ba emiâ??. Karawa sia nalo turi sa mak nia katak nee'. Ba oras karawa sia tama ba rate laran tia, nia kore nasai nola Lebo Ama mak iha bita fafalun laran nee', hotu nia tama uma laran ba foti nola we manas nakalik sia nee'. Lebo Ina duar we manas nakalik sia nee tama ba rate laran. We manas nee' lobot nola karawa sia nee' too' mate. Karawa balu atu nalai sai kokon, mais Lebo Ama nein no nakbakuk saka sia nodi ohin ai dona nee'. Karawa sia nee' mate hotu, hela mesan karawa oan rua mak noi' nare hein die nosi ai fafuhun ba. Karawa oan rua nee' mak nabea nikar karawa sia too' ohin loron nee'.

Diesen Post teilen
Repost0
27. März 2009 5 27 /03 /März /2009 21:06
Mari bersama menyanyikan lagu-lagu Pop daerah Belu.
Lagu Manuamanlakaan gubahan Joseph Situ Beru ini melukiskan kenangan akan keluhuran nama Manuamanlakaan - Sang Jago dari Lakaan - leluhur orang Belu. Manuamanlakaan adalah nama adat untuk Gunung keramat Lakaan di Belu yang diyakini merupakan asal usul banyak penguasa yang kemudian tersebar di Belu. Selamat menikmati lagu ini: MANUAMAN LAKAAN DARI OAN BELU GROUP.
Diesen Post teilen
Repost0
25. März 2009 3 25 /03 /März /2009 23:25

Pantun Sama Hare dari Daerah Fialaran

Sebuah Interpretasi

 

Sose Rouk nalo ita tolan la tun,

tolan etu maromak tolan la tun

 

Nobak noi Ruwele uma la sena,

asu tama nakbakuk roe sasanan

 

Tarutu Wehali tinan la mai,

Tarutu Weroat tinan mai ona

Ai funan oan ida kuda lor ba,

  ami atu ba silu tasi ta nola  


Baur ulu lalek e baur ai lalek,

titun tetek ba klaran more let ona

 

  Uma mane oan nuu’ tali no odan,
Ema matak oan nuu’ matak malirin

Mama takan rai ida toman los ona,

  toman modi malua foho no rai

 

Tau amin kadeli keta soe mela

Soe amin kadeli, soe no ami.

 


Oras loro malirin, lakateu tanis,

tanis naak nian talin, sae ro sina

  

La kouk kalo lia mesa kiak ona

Se nabu rai tota kelun tan ami

 

Kanuku Maubara, hali Maubara,

ruas atu tami malu, sabeo monu.

 

 
 

Sekali sang Doktor Balatsar Manek Kehi, sesepuh bidang ilmiah asal Fialaran menulis pantun ini dari Australia untuk saya: „hakur mota rua tolu buka kian malun – buka netan kiak malun tanis tau loro // Tirilolok toen lian nakur mota moru – nakur mota la bele tanis huis-huis”   Sedikit profokatif, tapi sangat kreatif. Ja itulah dia. Secara pribadi saya mengiakan pandangannya. Meski banyak nilai positif dari masa kolonialismus, kita tidak boleh melupakan bahwa dulu kita diajar untuk membenci budaya sendiri, dan mengagungkan budaya barat. Kita dijajah juga dalam bidang budaya. Akibatnya, kita kehilangan akar budaya kita. Kita berada dalam dilemma, mau tinggalkan budaya kita atau mau menolak budaya luar?. Generasi kita adalah generasi yang mengambang.  Ini soal lain, hanya ilustrasi kecil untuk tulisan ini.

 

Sama hare adalah tradisi orang Belu pada umunya, di mana kaum pria dan wanita menari-nari di atas bulir-bulir padi yang barusan dipanen sambil menyanyikan syair-syair daerah. Tujuan utama tarian ini adalah untuk membantu tuan kebun memisahkan butir-butir padi dari tangkainya.  Hiburan adalah tujuan sampingannya. Di Fialaran – Tasifeto, ada banyak syair yang masih dikenal hingga sekarng. Syair-syair itu ada yang diturunkan secara lisan, ada pula yang ditulis oleh orang Eropa dan disimpan di perpustakan-perpustakaan di Belanda atau Jerman. Salah satu contoh adalah syair dari Lasiolat (Lahurus) seperti yang tertulis di atas. Interpretasinya dan (dari) terjemahannya kira-kira seperti ini:  

 

Merdunya nyanyian sang dara Sose Rouk memang menggoda, menyesakkan tenggorokan sampai nasi paling lezatpun ditolak. Mendengar itu, kamipun bergegas ke pesta Sama Hare di Ruwele. Ya, kami sampai melupakan segalanya, pintu rumah lupa ditutup, anjing pun masuk memecahkan periuk. Tapi lupakan itu. Sekalipun cuaca sangat jelek, bergegaslah. Jangan hiraukan bunyi guntur dari Wehali, sebab musim baru akan tiba dengan guntur dari Weroat. (menggambarkan kegembiran dan kerinduan akan pesta Sama Hare/Injak Padi)

 

Sang gadis idaman tumbuh laksana bunga di seberang lautan. Hati ingin meminangnya, tapi sayang lautan luas memisahkan kami. Tapi keindahan sang pelangi nun jauh di sana adalah semu. Jangan diagung-agungkan, dia akan segera pudar kalau kau datang mendekat. Hendaklah kau pinang sang gadis dari kerabat Uma mane (Suku pemberi gadis), meskipun sang gadis asing mendatangkan rahmat. Gadis asing akan menggoda dan memikat hatimu, tapi jangan lupakan adat leluhurmu, sebab dengan itu kau lupakan semua kerabatmu. (Ajaran untuk bersikap bijak dalam memilih pasangan hidup)

 

Di kala mentari mulai teduh berkicaulah sang tekukur. Dia menangisi sang kekasih yang akan jauh berlayar. Kalau kau hidup sebatang kara, ingatlah, jangan  membuat perkaran, sebab tak akan ada yang membelamu. Ingatlah akan sang pangeran dari Maubara, yang kehilangan mahkotanya. (Ajakan untuk bersikap bijak di tanah Rantau)

 

 

 

  

(Puplius Meinrad Buru)

 

 

 

 

 

 

 

 

Diesen Post teilen
Repost0
16. Februar 2009 1 16 /02 /Februar /2009 16:39

 Foto: satu ruma adat di Lahurus

PICT0209.jpgSTRUKTUR SOSIAL
Oleh: Herman J. Seran

1.      1. Struktur Sosial

 

Struktur sosial adalah “organisasi suatu kelompok atau masyarakat yang dilihat sebagai struktur kedudukan dan peranan: abstraksi formal dari hubungan-hubungan sosial yang berfungsi dalam komunitas” (Kessing, Roger M., 1992: 113). Struktur sosial dapat juga didefenisikan sebagai “suatu jaringan dari kedudukan-kedudukan sosial yang diserahi tugas-tugas, tanggung jawab dan saluran-saluran komunikasi yang secara relatif bersifat tetap” (Lundberg, George A., CS., 1963: 141).

Struktur sosial pada Ema Tetun di Kabupaten Belu pada umumnya dan di kerajaan Fehalaran pada khususnya pada dasarnya terdiri dari fukun-fukun, uma manaran atau uma hun (secara harafiah, ruas buku bambu, uma suku yang bernama, uma inti atau uma asal usul; secara simbolis artinya klan, suatu komunitas kerabat seketurunan). Uma manaran, uma hun dan uma fukun (disingkat, uma) adalah pusat kehidupan suatu kelompok kerabat yang berdasarkan ikatan darah dan kesamaan keturunan karena mempunyai seorang tokoh leluhur pendiri uma tersebut. Keanggotaan suatu uma manaran biasanya didasarkan pada sistem perkawinan patrilineal berdasarkan adat kebiasaan pemberian belis putus yang disebut, faen kotu (secara harafiah, menggoyang kesana kemari sampai tercabut dari akar-akarnya; secara simbolis artinya, mengalihkan status seorang isteri dengan anak-anaknya dari uma asalnya ke uma sang suami). Dengan upacara faen kotu maka belis sebagai sistem pertukaran sosial untuk menghargai martabat dan kedudukan sosial seorang perempuan dipandang sebagai suatu upacara pengukuhan adat untuk mengalihkan status, hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang perempuan atau isteri dan anak-anaknya dari uma asalnya dan memberikannya status serta peranan penuh untuk menjadi anggota uma suku suaminya. Dengan cara demikian maka lama kelamaan terbentuklah suatu komunitas genealogis atau persekutuan kelompok sosial awal yang masih bersifat primordial dan berorientasi ethnosentrime yang disebut, uma manaran. Setiap uma manaran berpotensi untuk menjadi umamane ( artinya, uma suku pemberi isteri) atau fetosawa ( uma suku pengambil isteri). Pada waktu-waktu lalu, perkawinan di wilayah Fehalaran dilaksanakan secara khusus, yakni melalui pola pertukaran sosial yang bersifat diadic (artinya, hubungan dua segi yang bersifat dwitunggal atau berpasangan). Sistem perkawinan diadic yang asimetrik ini dikenal sebagai, inuk tuan-dalan tuan (secara harafiah, sarang lama-jalan lama; arti simbolis, dua uma suku yang sudah mempunyai pola hubungan perkawinan berpasangan tetap).Setiap penyimpangan dari sistem ini haruslah dilakukan dengan persetujuan pihak umamane. Istilah umamane menunjuk kepada uma suku atau uma manaran yang berstatus sebagai uma di mana seorang laki-laki boleh mengambil atau mempersunting seorang gadis sebagai isterinya. Sedangkan istilah fetosawa artinya uma manaran yang berstatus sebagai uma yang mempersunting atau menerima seorang gadis sebagai isteri. Perkawinan di luar saluran ini boleh direstui atas dasar persetujuan oleh kedua uma manaran yang bersangkutan yang masih secara langsung termasuk dalam ikatan kekerabatan hubungan darah karena keterikatan pada seorang leluhur pendasar uma yang sama. Jadi kadang-kadang terjadi semacam perkawinan campuran yang disebut, isin babilak-di’in babilak (arti hafiahnya, membalik badan dan membalik rebis badan; arti simbolis, perkawinan yang menyimpang dari pola yang sudah baku atau bertukar pasangan pengantin) di mana seorang jejaka atau laki-laki dari satu umamane menikah dengan seorang gadis atau perempuan dari fetosawa, walaupun pernikahan semacam ini jarang terjadi. Jadi, ciri utama dari pesekutuan ikatan kekerabatan antara Ema Tetun dari masyarakat hukum adat Fehalaran, ternyata mereka adalah penganut ikatan persekutuan kekerabatan yang bersifat patrilineal yang disebut, fetosawa, karena menghitung garis keturunannya menurut ayah, sedang kelompok kekerabatan yang menghitung garis keturunan menurut pihak perempuan disebut, umamane. Tetapi di kalangan Ema Tetun di Kabupaten Belu pada umumnya, terdapat juga semacam unsur yang tidak lazim seperti pada sistem kekerabatan suku Lio di Flores, sebagaimana yang pernah diteliti oleh Howell. Dalam penelitiannya Howell menemukan bahwa ada persekutuan-persekutuan kekerabatan seketurunan pada dua belah pihak, yakni yang menghitung garis keturunan baik menurut garis keturunan ayah maupun ibu (Howell,Signe,1996: 257).Dalam adat kebiasaan Ema Tetun Fehalaran, kelompok kerabat seketurunan dihitung menurut garis keturunan ayah (patrilineal), sedang di kalangan Ema Tetun Fehan di kerajaan Wesei-Wehali dan kerajaan Waiwiku di Belu selatan, persekutuan kerabat seketurunan dihitung menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Adat kebiasaan inilah yang juga diketemukan oleh Howell, seorang ahli Anthropologi Sosial dari Universitetet Oslo, Norwegia, di Lio utara, Flores pada tahun 1966.

 Selanjutnya anggota-anggota suatu uma manaran dibagi dan diklasifikasikan ke dalam tingkatan-tingkatan sosial atau kelas-kelas sosial. Penggolongan atau pengklasifikasian sosial secara hirarkhis tersebut mengacu kepada kedudukan dan peranan sosial anggota-anggota yang dikenal dalam Sosiologi sebagai stratifikasi sosial[1]. Menempatkan anggota-anggota suatu masyarakat ke dalam pelapisan-pelapisan sosial secara hierarkhis dan yang saling melengkapi pada umumnya menjadi ciri khas masyarakat tradisional berdasarkan faktor keturunan. H.J.Grijzen, seorang Controleur atau Kepala Daerah pemerintahan Hindia-Belanda dari Onderafdeeling (wilayah administrasi pemerintahan Hindia-Belanda setingkat Kabupaten) Beloe dalam tahun 1904, mengemukakan bahwa pada waktu dulu ketika kekuasaan adat yang bersifat feodal masih dominan, masyarakat Timor pada umumnya dibagi atas tiga pelapisan atau kelas sosial, yakni, Dasi atau kelas bangsawan yang menduduki pelapisan sosial yang paling tinggi atau yang inti/paling dalam; Renu atau rakyat jelata yang merdeka menempati pelapisan sosial sesudah Dasi; K’losan atau Ata, yakni, hamba sahaya yang tidak merdeka menempati pelapisan sosial yang paling bawah atau lingkaran sosial paling luar.

 Untuk memudahkan proses analisis, maka ketiga pelapisan sosial ini akan dibahas dalam urutan sebagai berikut: 1) Klosan atau Ata, hamba-hamba; 2) Renu, rakyat jelata yang bebas atau orang kebanyakan; 3) Dasi, bangsawan. Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas tentang sistem pelapisan sosial yang bersifat hierarkhis di pulau Timor pada umumnya dan pada Ema Tetun yang mendiami Kabupaten Belu khususnya, kita harus menelusuri kembali asal usul tentang terbentuknya kelas-kelas sosial ini sejak awal mula lahirnya masyarakat yang teratur melalui pengaruh-pengaruh dari luar sampai ke waktu ketika H.J.Grijzen menulis bukunya pada tahun 1904, yakni sesudah bangsa Belanda menjajah Belu lebih dari empat puluh tahun lamanya (Parera, A.D.M., 1994).

 Ketika Orang Timor mulai mengorganisasikan dirinya selama masa masyarakat yang masih tertutup pasti yang berlaku adalah hukum alam yang dikenal sebagai, survival of the fittest and the elimination of the unfit (artinya, yang paling unggullah yang akan bertahan hidup dan yang tidak unggul akan tersisihkan). Persekutuan hidup mereka hanya mengenal dua bentuk hubungan: pertama, berteman dan hidup bersama dalam satu kesatuan yang sangat tertutup atau yang bersifat ethnosentrisme, yang saling melindungi dan bahu membahu; kedua, saling bermusuhan dan bunuh membunuh. Setiap hubungan pribadi di luar kehidupan masyarakat yang tertutup artinya permusuhan dan kematian.

 Dengan demikian kesatuan sosial yang paling mendasar adalah klan, yang dikenal sebagai, fukun atau uma, di kalangan Ema Tetun di Kabupaten Belu. Fukun adalah unit kesatuan sosial yang bersifat genealogis, primordial-ethnosentris, yang berfungsi untuk menjamin seluruh kebutuhan hidup baik jasmaniah maupun rohaniah anggota-anggotanya melalui tanggung jawab, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bersama di bawah pimpinan kepala uma suku yang disebut, matas kawaik uma manaran (orang yang tertua dalam uma) dan yang juga dapat bergelar dato. Dato berasal dari kata datuk dalam bahasa Melayu. Kedudukan dato biasanya sebagai orang yang terpenting dari mereka yang sama kedudukan atau derajatnya. Dia adalah primus inter pares, yang paling utama dari yang lain sesamanya. Seringkali dia juga disapa sebagai dato fukun, kepala atau ketua uma fukun yang bergelar dato. Para dato tidak membentuk kelas sosial lain di atas renu atau rakyat jelata karena dalam kehidupan dato sehari-hari dia senantiasa berhubungan sangat erat dengan anggota-anggota umanya. Keadaan Sangat memungkinkan untuk membentuk suatu persatuan di antara beberapa fukun untuk memperoleh seorang dato sebagai peminpinnya. Anggota-anggota sebuah fukun biasanya dibagi dalam dua kelas atau lapisan, yakni renu atau rakyat jelata yang merdeka, dan klosan atau ata, yakni hamba-hamba sahaja yang tidak merdeka.

 

1.1   Klosan atau Ata

 

Klosan atau ata merupakan lapisan atau kelas hamba-hamba setempat. Mereka adalah para tawanan perang tanding antar suku, dan juga mereka yang dijual oleh sukunya karena tidak melaksanakan kewajiban adat yang dibebankan kepadanya. Mereka seharusnya dihukum mati tetapi ditebus oleh seseorang yang berpunya.

 Hamba-hamba yang baru saja ditawan dari satu kemenangan perang biasanya diperlakukan secara kejam. Mereka dapat dihukum secara fisik atau dibunuh. Tetapi kalau mereka bertingkah laku baik, biasanya mereka akan mendapat perlakuan yang baik pula, dipercayai dan diperlakukan secara manusiawi dari tuan mereka. Hamba-hamba adalah milik pribadi bukannya milik suatu suku. Biasanya mereka yang baik dan setia, khususnya anak-anak para hamba yang dilahirkan dalam suku itu mendapatkan perlakuan yang sama bahkan kadang-kadang lebih baik dari perlakuan yang diberikan kepada anggota-anggota uma. Seringkali terjadi hubungan seks antara hamba-hamba setempat itu dengan tuannya, dan anak-anak yang lahir akibat hubungan itu pada umumnya mendapatkan perlakuan yang baik, bahkan kadang-kadang mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiaban yang sama seperti anggota-anggota uma lainnya. Sebenarnya semua hamba aslinya adalah tawanan politik atau orang hukuman perang, yang sekarang dipersiapkan untuk mendapatkan status sebagai anggota-anggota uma suku sebagai rumah mereka yang baru, guna memperkuat garis depan dari uma suku tuan-tuan mereka.

 Tetapi ketika masyarakat yang selama ini bersifat tertutup secara bertahap mulai mengenal segi-segi kehidupan ekonomi dan hubungan-hubungan sosial dengan masyarakat yang lebih luas, maka praktek perbudakan diarahkan ke arah tujuan perdagangan. Perdagangan budak di pulau Timur disemarakkan dengan datangnya Orang Barat. Peperangan antar suku mendapatkan sebuah insentif baru untuk melakukan penculikan dan penjualan manusia dari suku-suku lain. Anggota-anggota uma fukunpun sangatlah bersemangat untuk mengambil tindakan terhadap anggota-anggota uma fukun tetangganya yang belum membayar seluruh utang-piutang atau kewajiban-kewajibann adat menurut adat-istiadat atau hukum adat yang berlaku. Dengan cara demikian maka banyak anak perempuan yang “dijual” (dinikahkan) atau terpaksa dinikahkan dan dialihkan statusnya ke uma suku laki-laki. Biasanya karena alasan sistem adopsi atau kaba dalam hubungan ikatan fetosawa-umamane melalui perkawinan antar uma suku, maka situasi pemaksaan adapt semacam itu agaknya telah menimbulkan kemarahan dan balas dendam dari fukun-fukun lain yang sudah punya ikatan hubungan tetap.

 Dalam catatan-catatan Controleur H.J.Grijzen (dalam, Mededeelingen Omterent Beloe in Hidden Timor, 1904: Bab IV), dikatakan bahwa Resident Minister Ter Herbruggen (+ 1761) memburu dan menangkap Orang-Orang Timor untuk dijadikan budak-budak dengan menggunakan anjing pemburu. Penggunaan cara ini dapat dibandingkan dengan praktek penangkapan budak-budak Negro dulu. Resident Minister van Aste (1784-1789) membutuhkan 1000 budak untuk pemasaran. Dalam permainan politik yang dilakukan oleh seorang Resident Minister dalam menciptakan siasat pertentangan antara suku-suku di Timor, yang paling berhasil adalah Resident Hazaert (1808-1833) yang memberikan insentif tambahan untuk setiap peperangan dan pemberontakan antara raja-raja Timor. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat terjadinya pertentangan antar suku-suku dan perdagangan budak Timor.

 Ini adalah fakta sejarah mengenai apa yang pernah ditafsirkan secara amat sinis oleh penulis-penulis Barat yang mengatakan bahwa penduduk pulau Timor adalah manusia buas, tidak berperadaban dan pemakan manusia…”anurackgenogen in die Bohlern der Felsen….immer in Waffern, immer in Kriege…. Menschenfrasser…” (dalam Algenemen archiv fur Ethnographie und Linguistik, 1806, yang dikutip dari laporan-laporan perjalanan dari Peron dan Freycinet).

 Setelah Belanda mendukung dan meningkatkan perdagangan budak di Pulau Timor selama bertahun-tahun lamanya, maka melalui politik Pax Neerlandica atau Pax Nederlandica (artinya, perdamaian di bawah Belanda), pemerintah Hindia-Belanda sendirilah yang menghentikan perdagangan budak-budak pada permulaan abad ke-Dua Puluh (XX) (Widyiosiswoyo, Supartono, 1992).

 

1.2    Renu

 

       Renu berarti, orang kebanyakan atau rakyat jelata. Pada dasarnya mereka adalah anggota anggota suatu uma manaran yang merdeka. Ada dua jenis uma manaran yakni, 1). uma labis atau uma yang tergolong kerabat suku bangsawan; 2). uma usi atau uma golongan rakyat biasa. Anggota-anggota suku adalah mereka yang lahir di dalam sebuah fukun atau uma manaran dari orang tua yang adalah anggota uma manaran tersebut, atau mereka yang diadopsi dari fukun-fukun lain yang masih mempunya ikatan hubungan sebagai fetosawa-umamane, atau juga melalui upacara pengadopsian yang disebut, kaba. Upacara kaba dilakukan dengan pengurapan air sirih dan pinang yang dilaksanakan oleh kepala-kepala uma manaran yang terjalin hubungannya sebagai fetosawa-umamane. Selesai melantungkan doa-doa permohonan kepada arwah para leluhur, maka seorang anggota fukun yang baru diterima itu akan dipangku oleh kepala atau ketua uma manaran sebagai tanda penerimaan. Dia akan diurapi dengan air sirih-pinang pada dahinya dan pusarannya yang menandakan bahwa sejak waktu itu dia akan meninggalkan kampung lamanya dan berpindah ke kampung halaman yang baru dimana dia diadopsi.Upacara semacam ini sangatlah cocok pada waktu itu, ketika setiap suku masih mempunyai wilayah yang garis-garis batasnya masih sangat jelas. Pada waktu sekarang ketika batas-batas wilayah itu secara praktis sudah kabur, malah di beberapa tempat dimana batas-batas wilayah itu sudah hilang sama sekali maka upacara semacam itu hanyalah sebuah upacara yang tidak bermakna sama sekali.

       Seorang asingpun yang walaupun tidak mempunyai ikatan hubungan fetosawa-umamane boleh mendapatkan asylum atau suwaka/perlindungan di dalam sebuah suku sebagai seorang pengungsi yang disebut, helin an; malah dia dapat pula diterima sebagai seorang anggota uma secara penuh melalui sebuah upacara sederhana dengan melantungkan doa-doa permohonan kepada arwah para leluhur disertai dengan pemberian persembahan yang disebut, kukun etun (perayaan arwah leluhur). Mereka semuanya yang berstatus sebagai anggota suku  mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi dan diperlakukan sama dalam hukum adat. Semua kebutuhan rohaniah dan jasmaniah, entah dalam segi politik, ekonomi, sosial dan budaya, kesemuannya itu sangat diperhatikan di bawah pimpinan kepala suku yang dikenal sebagai, matas kawaik uma manaran. Mereka yang telah memperoleh kaba atau pengadopsian ke dalam lingkungan fukun maupun mereka yang mendapatkan perlindungan (asylum) pada fukun itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anggota-anggota fukun atau uma manaran yang telah menjadi anggota sejak lahir menurut status orang tuanya. Selanjutnya mengenai implikasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban antara saudara-saudara sekandung yang menjadi anggota suku lain dapat dijelaskan disebagai berikut..

       Misalnya, dalam suku atau fukun X ada tiga orang bersaudara kandung, A, B, C, dan suku Y terdapat juga tiga orang yang bersaudara kandung, D, E, F, maupun anggota yang lain yang diterima dalam perlindungan (swaka) atau helin an yang disebut G. Sekarang, D, E, dan F dari lapisan suku yang kedua tidak mempunyai hubungan darah dengan A, B, dan C, karena orang tua mereka telah diadopsi atau dipelihara dari fukun Z. Akibatnya, A dari suku X diadopsi ke dalam suku Y untuk menjadi anggota suku dari D, E, F dan G. Misalnya B dalam suku X mendapatkan sebuah kesulitan besar mengenai sebuah tuntutan perkara hukum menyangkut sebuah denda adat; lalu saudara kandugnya A, yang sekarang sudah berada dalam suku Y, tidak boleh memberikan atau mempunyai kewajiban apapun untuk membantunya. A boleh merasa husar moras (secara harafiah, husar=pusaran; moras=sakit; secara simbolis, sakit hati), yang artinya, perasaan kasihan seorang saudara karena melihat saudaranya berada dalam kesulitan. Secara pribadi dia boleh secara sukarela memberikan bantuan yang disebut, harik kotuk sorin, yang artinya, berdiri di samping belakangnya. Mungkin dia boleh meminta bantuan dari kelompok alin maun (artinya, saudara-saudaranya). Sebaliknya, jika anggota-anggota sesuku A, yakni, D, E, F dan G terhimpit dalam sebuah perkara. A mempunyai kewajiban yang positif atau tegas untuk membantu mereka.

       Kepala fukun atau uma suku bertanggung jawab untuk semua anggota uma di bawah pimpinannya terlepas dari asal-usul mereka. Kewajiban-kewajiban dibagi secara adil kepada semua anggota fukun atau uma melalui sebuah upacara sederhana dengan cara memberikan kepada setiap anggota sejumlah biji jagung atau beberapa potong lidi dari daun kelapa atau gebang yang masing-masingnya menunjukkan sebuah tugas. Anggota-anggota yang tidak hadir bebannya dikirim kepada mereka masing-masing. Seorang anggota yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya akan diberikan sanksi adat, misalnya pemecatan dari suku yang disebut, lelen. Dalam situasi semacam itu, anggota suku yang tidak dapat dipaksa dengan kekerasan untuk mendapatkan pertolongan atau kontribusi dari seorang saudarinya atau seorang keponakan perempuannya, atau karena khawatir bila semua kerabat perempuan tidak mampu membantunya maka dia boleh menjual seorang anaknya untuk menjadi hamba sebagaimana telah diuraikan di atas.

       Grijzen dalam tulisannya tentang Belu dan Steinmets tentang Timur Tengah Utara (TTU) menjelaskan bahwa kampung-kampung di pulau Timor pada umumnya terletak di atas bukit-bukit dan puncak-puncak dataran tinggi yang dikelilingi dengan tanaman-tanaman berduri dan batu-batu yang sulit dicapai dengan berjalan kaki. Kampung-kampung ini selanjutnya dipagari dengan batu-batu atau rumpun-rumpun bambu yang berduri atau tanaman kaktus. Tujuannya ialah untuk menghindari peperangan yang sering terjadi antar kampung-kampung. Kampung-kampung itu disebut, leo atau kanua (ucap, k’nua) dalam lia tetun atau kuan dalam uab meto, yang merupakan wilayah pusat hunian suku.

       Jika situasi keamanan memungkinkan maka anggota sebuah uma suku dapat berpindah ke tempat lain yang berdekatan untuk mengerjakan kebun. Tempat dimana terletak kebun itu disebut, lo’o. Wilayah di sekitar kanua dan lo’o menjadi milik suku yang bersangkutan. Tanah yang telah diusahakan oleh salah satu anggota suku menjadi hak milik suku berdasarkan hak pendudukan/penempatan (right of occupancy). Sementara itu, hubungan-hubungan fetosawa-umamane antar uma-uma manaran akan tetap berlangsung terus. Dengan demikian, lahan atau tanah yang sudah dikerjakan (Bah. Belanda, roofbouw) secara periodik atau sesering mungkin harus ditinggalkan untuk beberapa tahun lamanya supaya menjadi hutan kembali. Jika lahan yang semula telah menjadi hutan kembali, maka hak milik berdasarkan penempatan dapat beralih kembali secara adil kepada semua anggota kedua uma, fetosawa dan umamane. Dengan demikian lama kelamaan batas-batas tanah menjadi kabur dalam ingatan setiap orang hingga akhirnya dilupakan atau hilang sama sekali. Oleh karena itu, Grijzen mengatakan bahwa dalam mengerjakan sebuah kebun, setiap orang seharusnya bebas untuk mengerjakan sebidang tanah tanpa perlu mendapatkan isin dari seseorang. Maksud atau keinginan untuk mengerjakan sebuah kebun pada lahan yang bebas atau masih kosong biasanya ditandai dengan menggantungkan daun-daun atau menempatkan beberapa ranting pohon sekitar lahan itu yang disebut, tara horak (secara harafiah, memberi tanda larangan). Jika orang lain ingin mengerjakan sebidang tanah yang sama maka perlu diadakan suatu pembahasan bersama mengenai keinginan tersebut. Jika sesudah itu tidak tercapai suatu keputusan maka haruslah dibicarakan dengan kepala suku atau matas kawaik uma manaran/fukun.Di Belu hampir tidak terdengar adanya percecokan mengenai batas-batas tanah, terutama pada waktu dulu.

       Ada satu istilah khusus mengenai kepemilikan tanah, yakni rai nain  yang secara harafiah artinya pemilik tanah atau tuan tanah. Tuan tanah atau rai nain (rai=tanah; nain= pemilik) dalam pengertian ini mengacu kepada fukun atau suku yang telah mengusahakan sebidang tanah sebagai pemiliknya secara turun temurun. Istilah rai nain  dapat juga ditujukan kepada jin-jin atau roh-roh halus penunggu tempat-tempat yang dianggap keramat seperti, pohon-pohon besar, gunung-gunung, batu-batu besar,dll. menurut kepercayaan asli yang masih bersifat animisme-dinamisme.

       Istilah rai oan (rai=tanah; oan=anak) artinya anak tanah atau penduduk asli. Grijzen mengemukakan bahwa jika seorang asal Tetun ditanya, “milik siapakah tanah seluas itu yang tidak diolah?” Dia akan menjawab secara samar-samar, “pemilik lahan atau tanah itu adalah Nai (raja) dan Dato (gelar untuk kepala suku),” karena merekalah yang mempunyai kewenangan penuh terhadap semua urusan rakyat termasuk hak untuk mengolah tanah. Namun demikian di Belu ada banyak ceritera seputar kepemilikan tanah. Ada juga orang yang menamakan dirinya sebagai tuan tanah atau pemilik tanah karena leluhur mereka berasal dari tanah itu yang dikenal dengan istilah: Moris lake rai, tubu lake rai  ( secara harafiah, moris lake rai= hidup keluar dari dalam tanah; tubu lake rai= timbul dari dalam tanah)  artinya, kami telah hidup dan bertumbuh dewasa di tanah ini dan telah mengerjakan tanah ini sejak dulu kala. Ada juga mereka yang mengajukkan tuntutan bahwa leluhur mereka telah turun dari langit di atas puncak gunung atau bukit-bukit (turu monu); dan ada juga yang mengatakan bahwa mereka berasal dari tempat lain (bada-dina). Berbagai tuntutan terhadap kepemilikan semacam ini memang mempunyai hak kepemilikan yang sah menurut hukum adat tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-Undang Pokok Agraria Republik Indonesia.

      Dengan semakin meningkatnya jumlah anggota-anggota uma-suku dan masuknya banyak pendatang baru dari luar Kabupaten Belu pada dewasa ini, maka masalah mengenai hak kepemilikan tanah semakin rumit dan kompleks. Seringkali terjadi pencaplokan tanah milik satu uma suku oleh anggota uma suku lainnya. Tanah yang telah dicaplok itu kerapkali diperjual-belikan oleh pencaploknya kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pemiliknya yang sah. Ada juga kejadian dimana anggota satu suku menjual tanah milik sukunya tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota-anggota uma suku lainnya. Situasi ini akan menjadi lebih kompleks lagi karena kadang-kadang Pemerintah Daerahpun mengabaikan hak-hak milik atas tanah suku sesuai hukum adat yang berlaku dan mengambil alih tanah milik suku-suku tertentu tanpa suatu imbalan dengan alasan tanah itu adalah milik negara dan akan digunakan untuk membangun prasarana atau sarana umum seperti jalan raya, perumahan instansi, gedung sekolah, dll. demi kepentingan umum. Namun dalam kenyataannya seringkali dimanfaatkan sebagai milik pribadi.Untuk menghindari pertentangan atau konflik antara pemilik-pemilik tanah suku yang sah dengan mereka yang sama sekali tidak berhak atasnya sesuai hukum adat yang berlaku dan demikian pula antara para pemilik tanah baik tanah suku maupun perorangan dengan Pemerintah maka sebaiknya perlu lebih diefektifkan lagi berlakunya hukum agraria dengan menegaskan bukti hak milik atas tanah milik perorangan maupun suku-suku dengan sertifikat hak kepemilikan.

       

        1.2.1     Perkembangan Fukun

 

       Istilah Fukun (secara harafiah, ruas buku bambu) mengungkapan arti simbolik dari sebuah uma manaran (secara harafiah, uma=rumah; manaran=bernama. Jadi, uma manaran artinya rumah yang bernama, disingkat :uma) sebagai sebuah persekutuan komunitas basis dari sebuah kekerabatan seketurunan. Basis kekerabatan yang terikat pada sebuah uma manaran ini biasanya bersifat eksogam dan unilateral. Setiap fukun atau uma, maupun sekumpulan uma-uma yang pertalian hubungannya sebagai fetosawa-umamane biasanya mendiami satu kampung tradisional yang disebut, kanua atau leo. Sebuah kanua sebagaimana telah digambarkan oleh Grijzen di atas biasanya berbentuk sirkular atau bulat telur dan terletak di atas bukit atau tempat yang berada pada ketinggian dan yang dikelilingi oleh pagar batu berlapis, di atasnya ditanami dengan tanaman yang berduri seperti kaktus.Penataan lingkungan kampung ditata demikian agar lingkungan hidup mereka ini terhindar dari serangan-serangan musuh, mengingat pada waktu lampau biasanya terjadi peperangan antar suku-suku untuk mendapatkan kekuasaan dan kepemilikan atas tanah wilayah. H.J.Grijzen yang adalah seorang controleur (kepala pemerintahan Hindia-Belanda) dari onderafdeeling (wilayah pemerintahan setara dengan Kabupaten) Beloe pada awal abad ke-Dua Puluh, menjelaskan bahwa mereka yang kalah dalam perang tanding biasanya menjadi tawanan perang dan dipekerjakan sebagai hamba-hamba (klosan atau ata) atau diperdagangkan.

       Dalam tradisi Ema Tetun, sebuah keluarga rumah tangga yang disebut, uma kain, merupakan sebuah unit keluarga yang terkecil atau keluarga inti yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan sebuah kelompok kerabat seketurunan yakni fukun atau yang biasanya dikenal sebagai uma fukun, uma hun atau uma manaran. Fukun sama artinya dengan istilah deu dalam bahasa Bunaq, hu’un dalam bahasa Kemak, kanaf dalam bahasa Meto, klan atau suku rumah dalam bahasa Indonesia. Uma manaran yang artinya “rumah suku yang bernama” merupakan lambang pusat kehidupan sebuah komunitas kekerabatan yang seasal seketurunan. Pusat kehidupan komunitas ini merupakan sebuah Institusi atau Lembaga yang tanggung jawabnya mencakup semua aspek kebutuhan manusia, yakni ekonomi, sosial, budaya dan spiritualitas. Uma manaran adalah sebuah Pranata/Institusi dasar yang berfungsi untuk mensosialisasikan, menanamkan dan mengendapkan nilai-nilai luhur dalam adat istiadat dan tradisi, basis pembentukan nilai-nilai moral dan spiritual untuk memperkokoh kepribadian anggota-anggota uma.

       Sebagai pusat kehidupan kebudayaan maka pendidikan karakter adalah wahana yang paling penting dan sangat ampuh untuk membentuk karakter dan jatidiri anak-anak anggota uma sejak dini dimana mereka belajar tentang adat sopan santun, praktek-praktek hidup tentang keramahan, kesantunan dalam kebersamaan, seluruh sistem kaidah-kaidah mengenai adat istiadat dan tradisi. Pembelajaran tentang kesemuanya ini dilakukan melalui proses sosialisasi dan pengendapan terhadap nilai-nilai budaya yang berlangsung seumur hidup melalui partisipasi penuh dalam kegiatan-kegiatan dan peristiwa-peristiwa penting menyangkut kehidupan uma. Dengan demikian uma manaran dan uma kain menjalankan fungsi utama sebagai pranata basis untuk menjamin kesejahteraan hidup anak-anak, membentuk karakternya dan menanamkan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah moral-etika, etos dan keterampilan bekerja dan nilai-nilai lainnya yang berguna, serta memberikan dukungan kuat tentang afinitas kekeluargaan sejati.

       Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa uma manaran juga berfungsi sebagai pusat kehidupan moral dan spiritualitas, karena di uma manaran juga dilaksanakan upacara-upacara pemujaan kepada arwah para leluhur. Arwah para leluhur ini diyakini telah beristirahat dalam satu dunia abadi yang digambarkan sebagai dunia yang sakral penuh kedamaian dan ketenangan, yang diungkapkan dalam bahasa adat sebagai, kukun sia mak iha kukun ba, iha roman ba, iha metin ba. Pemujaan kepada leluhur biasanya dilakukan di bawah tiang agung, dalam uma manaran atau uma kukun, untuk nenek laki-laki yang disebut, kakuluk atau ri manaran bodik bei mane, karena di tiang agung inilah biasanya digantungkan dan disimpan semua harta peninggalan milik para leluhur pendiri uma dan para anggota uma yang dipandang telah mempunyai kekuatan magis. Harta milik peninggalan utama adalah tempat sirih-pinang para leluhur baik laki-laki maupun perempuan yang disebut, kakaluk matebian no ko’e matebian; harta kekayaan perorangan yang sudah diserahkan sebagai milik kekayaan suku, barang-barang lain yang sudah mempunyai kekuatan magis seperti pedang atau tombak yang pernah digunakan oleh pahlawan suku atau meo untuk memenggal kepala musuh dalam perang tanding antar suku. Tiang agung itu sendiri melambangkan sebuah fungsi media komunikasi antara kepala suku atau matas kawaik uma manaran dengan Wujud atau Dewa Tertinggi (the Highest atau the Supreme being), Pencipta dan Penyelenggara segala sesuatu yang ada melalui arwah para leluhur. Doa-doa yang dilantungkan kepada Wujud Tertinggi melalui arwah para leluhur bertujuan untuk meminta perlindungan dan keselamatan bagi anggota-anggota suku agar mereka terhindar dari penyakit, musibah dan bahaya-bahaya lainnya.

Upacara lain yang juga dilakukan di bawah tiang agung adalah perkawinan adat yang disebut, hakur fahi ran, artinya melanggar darah babi. Tindakan melanggar darah babi ini melambangkan suatu ikrar janji sumpah setia sampai mati sebagai suami-isteri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Peristiwa ini biasanya disaksikan baik oleh arwah para leluhur yang sudah berada di dunia sana maupun oleh para tua-tua adat dari pihak umamane-fetosawa dan para orang tua, sanak saudara serta kaum kerabat dari kedua belah pihak yang masih berada di dunia sini.

       Oleh karena itu dapatlah dipahami bahwa uma manaran bukannya saja berfungsi sebagai sebuah bangunan semata tetapi juga “sebagai sebuah pusat jaringan hubungan timbal balik antara struktur-struktur, manusia dan ide-ide atau pandangan hidup manusia” (Carstan,Janet, et al., 1995: 5). Levi Strauss, seorang Anthropolog tua dari Perancis menamakan uma manaran dengan istilah, la maison societe (Idem, 1995: 5) atau “rumah sebuah komunitas”. Jadi uma manaran dapatlah digambarkan sebagai pusat kehidupan dari sebuah komunitas atau persekutuan kelompok yang bersifat genealogis karena komunitas ini didasarkan pada ikatan hubungan darah, hubungan keturunan dan hubungan-hubungan kekerabatan. Di dalam lingkungan uma manaran setiap anggota uma suku merasakan suasana ketenteraman hidup karena disinilah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, material, sosial dan psikologis dapat terpenuhi. Karena itu keterikatan batinnya dengan uma manaran adalah suatu ikatan afinitas kekeluargaan sejati.

       Atas dasar keyakinan akan ikatan afinitas kekeluargaan sejati itu pula maka perkunjungan-perkunjungan secara periodik ke uma manaran dan uma lulik atau uma kukun (rumah suku/rumah pemali suku) memiliki arti yang penting sekali berdasarkan dua alasan, pertama, karena pada kesempatan-kesempatan semacam itu Ema Tetun merasakan bahwa mereka mendapatkan kesempatan yang baik sekali untuk memperoleh matak no malirin (secara harafiah, kesegaran dan kesejukan; arti simboliknya, rahmat dan anugerah) melalui berbagai upacara adat seperti, tau manas atau kaba (artinya, memberikan kehangatan atau pengurapan). Pada tataran filosofis, matak no malirin, melambangkan kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya. Secara Anthropologis, matak no malirin dapatlah diterjemahkan dengan berbagai pengertian seperti “kekuatan hidup,” “semangat hidup,” “sumber kehidupan,” “kekuatan kosmos,” dan “motivasi.” Karena itu dalam ungkapan Ema Tetun, ba uma (mengunjungi rumah) secara filosofis artinya kembali ke tempat asal usul seseorang, kembali ke sumber kehidupan, kembali kepada jatidiri atau kepribadian yang asli dari kehidupan komunitas. Alasan kedua, ialah bahwa perkunjungan-perkunjungan secara periodik ke Uma (Uma Manaran/Uma Hun/Uma Lulik/ Uma Kukun) memberikan satu kesempatan khusus kepada semua anggota uma suku untuk memperbaharui dan mempererat kembali ikatan tali persaudaraan dan kekerabatan karena mereka ini berasal dari asal usul yang sama. Dalam Lia Tetun (bahasa Tetun) perkunjungan-perkunjungan semacam itu digambarkan sebagai, kalibur uma hun ida (arti harafiahnya, menghimpun mereka dari asal usul yang sama), dan untuk mengenang kembali asal usul mereka dengan ungkapan dalam Lia Tetun, hodi tatoli malu, hodi hatutan husar binan ba malu (artinya, untuk menjalin hubungan satu sama lain melalui ikatan tali persaudaraan mereka karena mereka berasal dari tali pusar yang sama).

       Semua anggota uma suku yang terhisap dalam satu uma fukun terdiri dari mereka yang diyakini berasal atau berketurunan dari seorang leluhur pendasar uma yang sama. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh agar seseorang bisa menjadi dan dianggap sebagai anggota satu uma suku sangatlah penting. Cara yang pertama yang ditempuh ialah melalui kelahiran seseorang dari satu perkawinan adat yang bersifat patrilineal dengan belis putus, dimana seorang anak dapat menjadi anggota uma suku ayahnya apabila semua persyaratan tentang belis ibunya telah diselesaikan seluruhnya menurut ketentuan dan kesepakatan adat antara uma suku kedua belah pihak sebagai fetosawa-umamane. Apabila semua kewajiban tersebut belum terpenuhi seluruhnya maka sang isteri dan anak-anaknya masih tetap menjadi anggota uma suku ibunya dan sang suami harus bertempat tinggal di uma suku sang isteri atau dalam satu tata aturan tentang kediaman yang bersifat uxorilocal (bertempat tinggal di uma suku sang isteri). Cara yang kedua untuk menjadi anggota satu uma suku ialah melalui upacara pengadopsian yang disebut, kaba, yang artinya pengurapan.

       Ema Tetun Fehan yang mendiami dataran rendah tanah Malaka atau Belu selatan dari kabupaten Belu menganut sistem kekerabatan matrilineal. Yang berlaku di wilayah ini ialah sistem perkawinan matrilineal dengan pola kediaman yang bersifat uxorilocal atau matrilocal (artinya, sang suami bertempat tinggal di lingkungan uma sang isteri atau ibu), dimana sang suami beralih statusnya menjadi anggota uma suku sang isteri. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini berada dalam kewenangan saudara laki-laki sang isteri, sedangkan sang suami yang bertempat tinggal di dalam suku isterinya memikul tanggung jawab untuk mengurus kesejahteraan isteri, anak-anak dan bahkan semua mantunya. Karena itu tidak dituntut penyerahan belis. Yang dituntut hanyalah pengiriman barang-barang (sasolok) sebagai lambang pertukaran sosial (Lihat, uraian tentang sistem perkawinan matrilineal menurut adat sabete-saladi pada bab III). Untuk tetap melangsungkan hubungan ikatan persaudaraan maka seorang anak yang disebut, mata-musan (arti simboliknya, pengganti biji mata) diserahkan kepada uma suku ayahnya untuk menggantikan kedudukan dan tempat ayahnya yang sudah lowong demi menjaga keseimbangan kosmis dan meneruskan keturunan di uma suku sang ayah. Seringkali seorang anak perempuan yang paling disukai untuk memenuhi tuntutan adat mata-musan ini.

       Untuk meredam berbagai ketegangan atau pertentangan antara uma-uma suku dan mempertahankan kelangsungan perdamaian, maka strategi yang biasanya ditempuh dalam kearifan-kearifan lokal ialah dengan melangsungkan perkawinan antar uma-suku melalui sistem perkawinan adat fetosawa-umamane berdasarkan ikatan perkawinan yang sudah berpola atau menurut kebiasaan yang sudah berlangsung secara turun temurun yang dikenal dengan istilah, dalan tuan, inuk tuan (jalan lama, sumber lama) Fetosawa adalah uma suku pengambil atau penerima isteri, sedangkan Umamane adalah uma suku pemberi isteri atau uma dimana seorang laki-laki boleh mempersunting calon isterinya.(Lihat penjelasan selanjutnya di Bab III). 

       Dalam jaringan hubungan yang lebih luas sifatnya misalnya, antara kerajaan dengan kerajaan atau antara kelompok-kelompok etnik, maka strategi dalam kearifan-kearifan budaya lokal yang biasanya ditempuh adalah melalui pembentukan suatu ikatan persekutuan sosial sebagai hubungan persaudaraan melalui upacara sumpah adat yang dikenal sebagai, hemu moruk metan (arti harafiahnya, meminum minuman keras yang sifatnya pemali; arti simbolik, mengikrarkan janji sumpah setia) yang melambangkan ikrar sumpah setia satu sama lain sebagai hubungan adik dan kakak atau hubungan persaudaraan alin-maun. Sumpah adat berdasarkan darah ini dilakukan oleh pihak-pihak yang bersumpah setia dengan cara meminum dari tempat minum yang sama yang berisikan kepala sopi dicampur dengan setetes darah yang diambil dari jari tangan kepala-kepala suku yang mau berikrar sumpah setia. Melalui minuman yang dianggap pemali ini mereka bersumpah untuk membentuk satu ikatan persaudaraan. Barang siapa yang melanggar sumpah ini misalnya, berkelahi, bertengkar atau saling menghojat dan menghina akan langsung dirundung oleh malapetaka dengan sendirinya berupa kematian yang mendadak atau bentuk musibah lainnya. Barang siapa yang melanggar sumpah akan dimakan oleh sumpah itu yang telah diikrarkannya sendiri secara sukarela. Pada dewasa ini sumpah setia sebagai alin-maun (adik-kakak) masih dipertahankan dengan baik di antara tiga kelompok etnik di pulau Timor yang berasal dari Belu, Sabu dan Rote Tii. Sumpah setia tiga serangkai ini dikenal dengan ungkapan, Belu Mau, Sabu Mau, Tii Mau, yang artinya, “kakak dari Belu, kakak dari Sabu dan kakak dari Rote Tii.”(Penjelasan terinci di Bab III).

       Sebuah Fukun lama kelamaan sesuai dengan peredaran jaman akan berkembang menjadi lebih luas dan semakin berkuasa. Karena kepadatan penduduk atau karena sebab yang lain, beberapa anggotanya mungkin akan berpindah ke wilayah yang masih kosong yang berdekatan untuk berkebun. Di tempat yang baru ini yang masih berada dalam lingkungan sebuah Lo’o tetapi yang agak jauh dari kanua atau kampung, mereka boleh membentuk cabang uma fukun atas inisiatif mereka sendiri. Namun karena dalam upacara-upacara adat mereka harus berdialog langsung dengan cara melantungkan doa-doa permohonan serta melakukan uapacara pemujaan langsung dengan arwah para leluhurnya, sedangkan tempat yang baru itu agak jauh dari uma suku asalnya yang disebut, uma hun, di kanua atau kampung asal maka mereka dapat membangun sebuah cabang uma manaran (arti harafiahnya, uma suku yang bernama) misalnya, Uma Leowes, Uma Astalin,Uma Leoklaran, Uma Mane Sanulu, dan sebagainya. Dalam memutuskan masalah-masalah penting menyangkut urusan-urusan adat istiadat, mereka harus bergabung dengan Uma Hun atau uma asal-usulnya. Suatu perkembangan keadaan yang semakin maju dapat saja menyebabkan terjadinya pemisahan sebuah “ranting” dari cabangnya. Dalam hal ini “ranting” adalah apa yang disebut ri manaran (arti harafiahnya, sebuah “tiang yang bernama”). Setiap uma manaran dan ri manaran dapat berkembang lebih lanjut dan lama kelamaan akan berpisah sama sekali dari suku induk atau uma suku asal usulnya. Sebaliknya ada fukun-fukun, uma-uma manaran dan ri manaran yang telah tersisihkan dan hilang lenyap.

       Beberapa fukun atau uma suku memiliki sebuah rumah pemali yang disebut, uma kukun, uma lulik atau uma kakaluk. Pada dasarnya Uma kukun adalah tempat keramat  yang merupakan sumber dimana setiap anggota uma fukun atau perorangan dapat memperoleh matak no malirin atau kekuatan magis. Uma kukun adalah rumah pemali dimana tersimpan  semua benda-benda keramat seperti, semua harta peninggalan leluhur, berupa tempat sirih-pinang milik nenek laki-laki (kakaluk matebian) dan milik nenek perempuan (ko’e matebian) yang telah berpulang ke alam baka, semua harta peninggalan kekayaan lainnya,  kekayaan dari fukun-fukun atau uma-uma suku baik yang diwarisi dari para leluhur atau yang diperoleh sebagai pampasan perang maupun melalui cara-cara lainnya. Semua perlengkapan dan perhiasan-perhiasan ini tersimpan rapih di rumah pemali dan berada di bawah tanggung-jawab seorang  kepala suku atau dapat diserahkan kepada seorang anaknya apabila kepala suku atau matas kawaik uma ini sudah lanjut usianya atau meninggal dunia.

              

1.2.2        Tata Susunan Uma Manaran dan Arti Simboliknya

 

          Dalam uraian-uraian terlebih dahulu telah dijelaskan bahwa kehidupan Ema Tetun sangatlah bertautan erat dengan atau berfokus pada Uma. Istilah ini merupakan sebuah pandangan hidup yang sangat khas tentang suatu kehidupan antara fukun dan uma manaran. Dalam hubungan dengan pandangan hidup ini maka dalam paparan selanjutnya akan disajikan sebuah gambaran singkat tentang tata susunan dan pengorganisasian, arti simbolis dan jenis-jenis rumah-rumah yang dikenal pada Ema Tetun. Istilah umum dari rumah dalam Lia Tetun disebut, uma. Istilah ini mengacu kepada bentuk fisik bangunan sebagai tempat tinggal manusia agar mereka dapat terlindungi dari ketidaknyamanan hidup yang disebabkan oleh kepanasan terik matahari atau udara yang  sangat dingin dan musibah-musibah alam serta ancaman-ancaman bahaya dari manusia. Sejauh ini istilah uma bermakna sebagai sebuah tempat tinggal yang biasanya disebut uma tur fatin, sebuah tempat tinggal yang biasanya dihuni oleh sebuah keluarga rumah tangga atau uma kain.

       Sebuah uma dapat juga berbentuk sebuah bangunan yang berfungsi sebagai Uma-Manaran atau uma fukun/uma suku. Sebagai sebuah bangunan maka rangka-rangkanya uma biasanya terbuat dari kayu-kayu balok, bambu betung yang besar, atapnya dari alang-alang atau hae manlain (Imperata cylindrica Beauv L). Tiang agungnya yang disebut, kakuluk/ri manaran, yang tingginya sekitar 10 meter haruslah diambil dari batang pohon yang sudah tua dan terpilih dari hutan adat. Tiang agung ini haruslah berjumlah dua buah. Sebuah tiang diperuntukkan bagi seorang tokoh leluhur laki-laki pendasar uma yang disebut, kakuluk/ri manaran bei mane, sedangkan yang satunya diperuntukkan bagi nenek perempuan yang disebut, kakuluk/manaran bei feto. Karena tiang-tiang agung ini mempunyai arti simbolik bagi keselamatan dan kerukunan hidup dalam kehidupan anggota-anggota uma suku secara keseluruhan maka kedua tiang agung itu haruslah dipikul bersama oleh semua anak laki-laki dan para menantu laki-laki dari anggota uma suku bersangkutan. Kegiatan ini haruslah diawali dengan satu upacara adat yang bertujuan untuk memberikan sasajen dan meminta ijin dari roh-roh halus yang disebut, rai nain, sebagai penunggu hutan tersebut sehingga usaha uma suku ini dapat terhindar dari berbagai halangan. Seusai upacara adat maka dapatlah diadakan penebangan pohon yang sudah dipilih. Kedua tiang agung ini haruslah dihias lalu dipikul oleh semua anak-anak laki-laki termasuk para menantu laki-laki dari uma suku bersangkutan menuju tempat pembangunan uma manaran. Kelompok anak-anak, perempuan dan para menantu perempuan mengiringi arakan ini dengan tarian likurai, sedangkan para orang tua dan laki-laki yang lainnya menyanyikan lagu, leho berulang-ulang. Dengan demikian maka arakan ini merupakan satu upacara adat yang melambangkan suatu penghormatan khusus kepada arwah para leluhur pendiri uma agar mereka selalu mau menunggal dengan semua anak cucu dan turunannya yang tergabung dalam persekutuan uma tersebut.              

       Ketika pekerjaan pembangunan uma manaran akan dimulai maka kegiatan ini haruslah diawali dengan sebuah upacara untuk menentukan pusaran yakni titik pusat dari bangunan itu. Upacara penentuan pusaran ini haruslah dilakukan oleh seorang makdok (artinya, seorang dukun peramal atau orang yang “bermata terang”). Pada titik yang telah ditentukan oleh makdok itu dibuatlah sebuah lubang sebagai tempat untuk meletakkan satu kepala karau (kerbau) yang dikorbankan sebagai upacara persembahan. Kepala kerbau itu melambangkan kekuatan agar uma manaran itu dapat berdiri kokoh. Pembangunan setiap uma manaran atau pembangunan rumah tempat tinggal lainnya selalu dikerjakan secara hakawak atau gotong royong oleh semua anggota uma suku dan penduduk dalam kampung seluruhnya. Hakawak merupakan sarana kerja sama atau gotong royong dalam budaya masyarakat adat yang paling efektif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga manusia. Setelah rampungnya pembangunan uma manaran itu maka dilakukanlah sebuah upacara untuk pendinginan rumah adat yang disebut, ha uma wen (arti harafiahnya, menyantap hidangan karena kecapaian membangun uma manaran ini; arti simbolis, mendinginkan uma). Pada dewasa ini semua penghuni kampung dan daerah sekitarnya yang masih mempunyai hubungan ikatan sebagai fetosawa-umamane atau rumpun uma suku lainnya yang masih terkait biasanya diundang seluruhnya untuk menghadiri upacara ini. Banyak hewan berupa sapi dan babi biasanya disembelih pada kesempatan yang penting menyangkut kehidupan uma ini dengan tujuan untuk memuja arwah para leluhur dan memohonkan keselamatan serta kerukunan hidup bagi semua anggota uma manaran yang bersangkutan. Kesempatan semacam ini biasanya digunakan juga untuk menyelesaikan berbagai persoalan berupa perselisihan,silang sengketa dan sikap permusuhan antara kerabat anggota-anggota uma manaran serta mempertautkan kembali seluruh rumpun keluarga uma dengan tali ikatan afinitas kekeluargaan sejati.

       Pada umumnya sebuah bangunan uma manaran di wilayah kerajaan adat Fehalaran, yang sejak usainya Perang Dunia Kedua (II) hingga ke dewasa ini lebih dikenal sebagai kerajaan Tasifeto, berbentuk bulat telur atau perahu terbalik, bertumpu diatas tonggak-tonggak, diatap dengan alang-alang atau hae manlain dari atap rumah sampai menyentuh tanah. Penataannya adalah sebagai berikut. Bangunan uma ini mempunyai dua pintu, sebuah menghadap ke arah matahari terbit yang disebut, oda matan lor yang diperuntukkan bagi tamu dan kaum laki-laki; dan pintu yang lain menghadap ke arah matahari terbenam yang disebut, oda matan rae, yang diperuntukkan khusus bagi anggota-anggota rumah tangga dari uma manaran itu dan kaum perempuan pada umumnya. Oda matan lor harus menghadap ke sebelah Timur atau sebelah matahari terbit karena jurusan ini dianggap sebagai posisi yang membawa keberuntungan, kesejahteraan material, kehidupan, kebaikan dan prospek yang cerah dalam hidup sebagaimana sang surya yang mulai menyinyari bumi dengan sinarnya yang terang benderang dan terik panasnya. Oda matan rae biasanya menghadap ke arah Barat ke jurusan terbenamnya matahari sebagai pintu yang melambangkan waktu senja dari kehidupan seseorang di dunia ini. Keadaan ini adalah saat-saat ketika seseorang berhadapan dengan banyak kesulitan, penyakit, kesengsaraan, kesepian dalam hidupnya dan pada akhirnya meninggal dunia.

       Bangunan sebuah uma manaran mempunyai dua buah tiang agung sebagai kakuluk/ri manaran (artinya, tiang agung yang bernama), yang satu melambangkan leluhur laki-laki dan disebut kakuluk/ri bei mane (artinya, tiang agung untuk nenek laki-laki), dan yang satunya lagi untuk leluhur perempuan yang disebut, kakuluk/ri bei feto (artinya, tiang aguang untuk nenek perempuan). Pada kakuluk bei mane biasanya digantungkan dan disimpan semua harta kekayaan yang diwariskan oleh para leluhur seperti tempat sirih-pinang dan semua harta peninggalan lainnya yang sudah dianggap keramat. Tiang agung ini juga melambangkan sebuah media komunikasi dengan arwah para leluhur dimana kepala uma suku biasanya melantungkan doa-doa permohonan untuk keselamatan, kesejahteraan dan lain-lain bagi semua anggota uma.

       Karena atap rumah menyentuh tanah maka bagian dalam rumah itu gelap gulita tetapi sejuk rasanya. Suasana gelap dan sejuk melambangkan bahwa manusia itu lahir dari satu dunia yang suci (gelap) dan penuh ketenangan (sejuk). Dari tempat yang gelap dan sejuk ini manusia akan keluar ke dalam satu dunia yang nyata pada waktu diadakan upacara, koi ulun atau pencukuran rambut, saat sang bunda selesai melakukan hatuka hai (beristirahat total selama empat puluh hari untuk memulihkan kesehatan di dalam rumah setelah melahirkan).

 

       Bagian-bagian penting dalam sebuah uma manaran adalah:

 

  1. Salak atau bale-bale besar yang terdapat di oda matan lor. Salak dimaksudkan untuk menerima tamu, sebagai tempat untuk bermusyawarah dan sebagai tempat tidur pada malam hari bagi kaum laki-laki yang masih layang.
  2. Uma laran atau bagian dalam rumah yang terdiri dari sebuah bale-bale besar yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur bagi kaum perempuan layang dan anak-anak. Bagian dalam ini juga digunakan sebagai tempat untuk melakukan upacara-upacara adat untuk memuja arwah para leluhur, perkawinan adat dan mengadopsi anak sebagai anggota uma yang baru.
  3. Kahak atau loteng di atas salak yang digunakan sebagai gudang makanan seperti jagung dan kacang-kacangan dan tempat untuk penyimpanan warisan harta kekayaan.
  4. Sete adalah sebuah tempat yang agak tinggi seperti sebuah loteng kecil yang terletak di antara tempat tidur kaum wanita layang dan tungku api yang terletak disebelah tempat tidur kaum wanita. Loteng kecil ini digunakan untuk menaruh sasajen kepada arwah para leluhur atau anggota uma yang sudah meninggal.
  5. Hai matan atau tungku api letaknya bersebelahan dengan tempat tidur kaum wanita dan anak-anak. Hai matan ini digunakan sebagai dapur. Karena atap rumah sampai menyentuh tanah dan tidak ada ventilasi lain selain dua pintu rumah itu maka suasana rumah itu gelap dan asap api tidak bisa keluar secara leluasa. Namun demikian, asap api itu sangat berguna untuk mengasapi jagung yang tersimpan di atas loteng sehingga bahan makanan ini tidak terserang dan dirusak oleh serangga.
  6. Uma ain (arti harafiah, kaki rumah) mengacu kepada ruang tidur yang berada dibagian paling belakang rumah yang telah dipisahkan oleh dinding bambu atau papan dari bagian dalam rumah. Biasanya kepala uma suku dengan isterinya menempati ruangan ini. Bila kepala suku tidak menggunakannya maka ruangan tersebut biasanya digunakan oleh seorang pemudi yang telah kehilangan keperawanannya sehingga dia dapat dengan leluasa berhubungan dengan kekasih gelapnya pada malam hari (Lihat penjelasan di Bab III tentang perkawinan adat pada Ema Tetun yang berstruktur sosial patrilineal). Jika ruangan ini telah beralih fungsinya sebagai tempat berpacaran pada malam hari maka tempat ini disebut, loka (ruangan kecil).

(Gambaran visual tentang tata susunan Uma Manaran dapat dilihat pada   akhir Bab VII tentang lampiran foto-foto, denah-denah dan peta-peta)

     

       Uma Manaran sebagai pusat kehidupan sebuah komunitas uma suku memiliki arti simbolis yang menunjukkan suatu hubungan saling ketergantungan antara bangunan, manusia dan ide-ide atau pandangan hidup. “Uma Manaran melambangkan kehidupan suatu kelompok sosial dan dunia sekitarnya” (Carsten, Janet (ed) et al, 1995: 1). Karena itu dalam makna simbolis, uma manaran berperan sebagai sebuah simbol kesatuan afinitas kekerabatan, sebagai pusat kehidupan suku dalam bidang kebudayaan, sosial, pendidikan, ekonomi rumah tangga, moral dan religiositas. Uma manaran bersifat genealogis karena anggota-anggotanya memiliki seorang tokoh leluhur pendasar uma yang sama. Sebuah uma manaran (arti harafiah, rumah yang bernama) atau uma hun (rumah asal usul) seperti uma Leowes, uma Astalin, uma Leoklaran, uma Beitula, uma Manesanulu, dan sebagainya adalah lambang pusat kehidupan sebuah uma manaran dalam berbagai bidang kehidupan.

 

 

       Berbagai jenis istilah uma dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

  1. uma tur fatin adalah rumah tempat tinggal sebuah keluarga rumah tangga atau keluarga inti yang disebut, uma kain.
    li>
  2. uma manaran/ uma fukun/ uma hun (arti harafiah, rumah yang bernama, rumah suku, rumah asal usul) artinya rumah sebagai pusat kehidupan suatu komunitas kekerabatan yang seasal-seketurunan.
  3. uma lulik/ uma kukun/ uma kakaluk (arti harafiah, rumah pemali, rumah gelap,  rumah sirih-pinang) adalah jenis rumah pemali dimana tersimpan semua harta kekayaan peninggalan para leluhur  seperti tempat sirih-pinang, gelang,  morten, pelat-mas, destar, penutup kepala dan penata rambut; benda-benda lainnya seperti kapak, tombak, panah, kelewang yang pernah digunakan untuk membunuh musuh oleh meo atau pahlawan suku. Berbagai harta peninggal dan benda-benda kesemuanya itu dianggap pemali karena telah memiliki kekuatan magis. Di tempat inilah biasanya dilakukan upacara kaba atau hasae kakaluk
  4. uma metan (secara harafiah, rumah hitam) adalah istana raja. Istilah Metan

      atau hitam melambangkan kesucian dan keagungan.

  1. uma lo’o, artinya rumah tempat kediaman sementara bagi anggota uma suku yang mengerjakan lahan atau berkebun di tempat yang agak jauh dari kanua,

      kampung asal

  1. uma to’os, artinya pondok tempat berteduh di kebun untuk menjaga tanaman agar hasil tanaman di kebun tidak dicuri atau dirusak oleh hewan.
  2. umamane, artinya pihak uma suku dimana seorang jejaka atau laki-laki boleh mempersunting seorang pemudi sebagai calon isterinya. Dapat juga disebut, uma suku pemberi gadis atau isteri. Pasangannya ialah uma-fetosawa, artinya uma suku pengambil gadis atau isteri.

 

 PICT0296-Kopie-1.jpgFoto: batu plat ini dibawa dari Asumanu (Ninluli) sbg salah satu Fuda  untuk istri dari Dasi Manuikun yang difaen dari Asumanu.

1.3      1.3. Dasi

 

       Setelah menelusuri perkembangan sebuah fukun dan hubungan antar uma suku atau uma manaran sebagai akibat dari hubungan fetosawa-umamane maupun alin-maun (lihat penjelasan selanjutnya) maka kebutuhan akan sebuah koordinator atau pimpinan umum sangatlah dirasakan. Koordinasi pemerintahan ini dilakukan oleh seorang Nai atau bangsawan setempat yang harus berasal dari keturunan Dasi atau berdarah bangsawan. Nai adalah sebuah istilah sapaan kehomatan, sedangkan Dasi adalah nama untuk kelas yang berdarah bangsawan.

       Seorang ahli hukum adat Indonesia yang berkebangsaan Belanda, B.Ter Haar, mengemukakan pendapatnya bahwa diri pribadi seorang raja itu sendiri bersama dengan segala perlengkapan kekuasaan dan perhiasan upacaranya yang merupakan sumber dari kekuatan magis, sebagai satu keharusan atau persyaratan mutlak yang menyangkut kepemimpiannya (B.Ter Haar, Adat Law in Indonesia, Bharatara, 1990). Namun di Belu dan banyak tempat di pulau Timor, masalah mengenai kepribadian pemimpin merupakan tempat yang kedua. Jika di dalam sebuah fukun atau uma suku ada seorang kepala atau seorang yang tertua di antara yang lain yang sama posisinya, sama halnya juga dalam hubungan-hubungan antara suku ada seorang anggota fukun yang telah ditentukan sebagai yang tertua dari sesama lainnya (primus inter pares) maka seorang itu yang dinamakan fukun dasi yang berdarah bangsawan atau kelas bangsawan, dialah yang menjadi kepalanya dan diakui sebagai Dasi atau Nai.

       Dalam keputusan fukun tentang siapa yang akan memegang kekuasaan maka syarat-syarat yang harus dipertimbangkan bukan saja mengenai kelengkapan-kelengkapan dan perhiasan-perhiasan kebesaran yang dimiliki; persyaratan yang lebih penting ialah kewibawaan dan kedudukan fukunnya serta hubungan-hubungannya dengan semua uma-uma suku lainnya. Kekuasaan ini pada umumnya ditentukan oleh kedudukannya sebagai umamane atau uma suku pemberi isteri. Semakin besar jumlah fetosawa (suku pengambil isteri) yang diaturnya maka semakin aman pula kedudukannya. Untuk memperkuat persyaratan-persyaratan tersebut di atas maka dirajutlah mitos-mitos untuk memberikan sifat keagungan bagi kepemimpinan fukun dasi, misalnya bahwa kepala suku itu adalah titisan dewata dari langit, dan sebagainya. Keutamaan atau kebangsawanan kedudukan suku diterima sebagai sebuah warisan turunan hingga kebangsaan itu melemah dan jatuh karena sesuatu sebab.

       Apabila persyaratan-persyaratan tentang kebangsawan tersebut di atas telah terpenuhi, barulah diselidiki kualifikasi untuk menjadi Loro atau Nai, antara lain persyaratan yang paling utama ialah bahwa calon itu haruslah berdarah bangsawan murni{dasi-ran) dalam artian bahwa dalam diri calon itu haruslah terkandung unsur-unsur warisan turunan murni. Dengan demikian maka persyaratan-persyaratan yang dituntut boleh dianggap sudah lengkap. Dalam kenyataannya bahwa kemampuan sebagai salah satu persyaratan ditempatkan di urutan terakhir karena didasarkan pada pertimbangan bahwa seorang Loro atau Nai hanyalah seorang koordinator yang tidak memiliki banyak tanggungjawab aktif sebab segala sesuatunya sudah ditangani oleh pembantu-pembantunyanya.

       Bila pada suatu saat, seorang suku bangsawan tidak mampu lagi mengajukkan seorang calon yang dapat diterima oleh rakyat dan tidak mampu lagi menjabat atau memerintah maka keadaan ini dikatakan bahwa garis keturunan bangsawan sudah berakhir. Oleh karena itu masyarakat mengadakan musyawarah adat, mon metan, untuk mempertimbangkan calon-calon dari suku bangsawan lainnya. Apabila musyawarah adat dalam lembaga adat yang disebut, mon metan (artinya bermusyawarah secara terbuka untuk mencapai kesepakatan yang adil dan benar) pada akhirnya telah mencapai kata sepakat maka uma suku bangsawan yang bersangkutan haruslah diberitahukan tentang hasil musyawarah adat tersebut. Bila segala sesuatu yang menyangkut persiapan telah berjalan mulus maka rakyat seluruhnya akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin sesuai dengan apa yang dituntut oleh suku bangsawan sebagai sumber pendelegasian kewenangan dari hasil musyawarah yang telah menyetujui pengadopsian atau “membeli putus” (artinya, mengalihkan status) Loro atau Nai yang baru bagi mereka. Mendapatkan seorang raja dengan cara ini disebut faen atau hafoli yang artinya mengadopsi atau mengangkat. Selain daripada itu kecuali kedua istilah tersebut dibatasi penggunaannya hanya untuk faen atau hafoli dasi dan faen atau hafoli feto (arti harafiahnya, mengadopsi seorang raja dan mengambil seorang perempuan/ isteri). Untuk membeli barang-barang pada umumnya maka istilah yang digunakan ialah sosa. Kedudukan seorang perempuan yang “dibeli” melalui cara ini yakni dengan cara memperisterikannya merupakan sesuatu tindakan yang terhormat. Kedudukannya adalah uma nain atau nyonya rumah. Demikianpun halnya seorang Nai yang “dibeli” untuk menjadi pemimpin atau penguasa dari kerajaan yang mengadopsinya. Raja yang “dibeli” ini diambil ke dalam suku bangsawan utama dan biasanya dinikahkan dengan salah seorang anggota suku itu.

       Grijzen mengatakan bahwa seorang bangsawan biasanya disapa dengan istilah Nai memang benar; tetapi mengenai apa yang dikatakannya bahwa untuk mengungkapkan rasa lebih hormat maka istilah-istilah yang digunakan adalah rai nain dan ata nain adalah suatu penjelasan yang keliru. Sebenarnya istilah Nai lulik (nai=raja dan lulik=suci) digunakan sebagai penyebutan terhadap “seorang pemimpin agama Katholik yang dipandang saleh” atau Imam (Pastor). Rai nain (rai=tanah dan nain=pemilik atau tuan) sebagaimana telah dijelaskan di atas ditujukan kepada roh halus penunggu pohon, batu besar atau tempat-tempat keramat. Ata nain (secara harafiah, ata= hamba dan nain=tuan; artinya, tuan dari hamba) adalah siapa saja yang memiliki hamba-hamba. Bila seseorang berbicara di depan seorang Nai maka untuk menyatakan rasa merendah mereka menyebutkan dirinya sebagai, itan ata, artinya “hambamu”.

       Penjelasan Grijzen bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan antara seorang bangsawan dengan seorang perempuan yang lebih rendah statusnya memperoleh gelar dato tidaklah tepat. Dato adalah gelar untuk kekuasaan pemerintahan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tidak ada kelas dalam diri dato-dato. Telah diakui bahwa dato adalah seorang pemimpin yang mendapatkan penghormatan dari rakyatnya dan juga mendapatkan keistimewaan-keistimewaan, tetapi dia tidak memiliki status sosial yang harus lebih tinggi daripada rakyatnya. Dia tidak disapa dengan bahasa adat khusus seperti bahasa adat halus untuk tingkatan Dasi. Sebagaimana dalam bahasa Jawa yang mengenal tiga tingkatan bahasa yakni, ngoko, kromo dan kromo inggih, demikian juga dalam bahasa Tetun (Lia Tetun) ada tiga tingkatan bahasa yakni, lia sasokar atau bahasa adat halus atau bahasa santun dalam urusan-urusan adat atau pertemuan-pertemuan resmi; lia hakneter atau bahasa santun terhadap seorang dasi (raja) atau orang tua dan yang dituakan; lia dale atau bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat umum. Kedudukan yang lebih rendah dari bangsawan sebagaimana yang dikemukakan oleh Grijzen memang telah memunculkan istilah dasi alin, (secara harafiah, bangsawan lebih muda atau bangsawan rendah) namun demikian orang yang bersangkutan haruslah tergolong dalam satu uma suku atau uma manaran tertentu dan dia tidak mungkin akan terpilih sebagai Nai secara otomatis.

       N. Th. Overaher, controleur dari Belu, dalam memorinya pada tahun 1927, membedakan golongan dasi alin, dasi ran, dato dan renu. Istilah dasi ran diartikannya sebagai bangsawan asli yang belum mempunyai darah campuran dengan golongan yang lebih rendah; dasi alin merupakan sebuah keturunan yang kurang penting dari dasi sebagaimana telah dijelaskan di atas. Mengenai golongan renu dan dato penjelasannya telah dijelaskan di atas. Penulis juga merasa perlu untuk mengemukakan pendapatnya tentang dasi ran dan dasi yang biasa, berdasarkan informasi yang pernah dikemukakan oleh seorang tokoh peradatan, ama Alfons Mau.

       Setiap fukun mempunyai hubungan-hubungan keterkaitan timbal balik dengan fukun-fukun lainnya, baik mereka yang punya hubungan sebagai fetosawa-umamane maupun  hubungan sebagai alin-maun. Hubungan-hubungan pada tingkat pertama yang terjadi antara fukun-fukun membentuk jaringan-jaringan hubungan yang tidak berkeputusan namun selalu ada satu uma suku utama yakni fukun dasi. Di tempat lain pada waktu yang bersamaan terdapat juga hubungan-hubungan semacam itu di antara fukun-fukun yang sama. Hal ini mengakibatkan adanya banyak fukun bangsawan, baik pada masing-masing maupun seluruhnya terdapat satu yang terkemuka, yang berbeda dan terpisah secara genealogis, membentuk kelompok-kelompok keturunan yang sama. Mereka ini dapat di klasifikasikan dalam kategori sebagai bangsawan menengah.

       Dengan timbulnya banyak dasi atau bangsawan kelas menengah, yang semuanya mempunyai jalinan hubungan sebagai fetosawa-umamane antar setiap fukun, maka seharusnya ada koordinator-koordinator pada tingkatan yang lebih tinggi, yang dalam hal ini ditempati oleh mereka yang berdarah bangsawan murni (dasi ran). Karena itu, penulis sependapat dengan ADM. Parera yang mengatakan bahwa dasi ran selayaknya mengacu kepada bangsawan tinggi dan bukan hanya yang berdarah biru asli semata. Setiap orang mulai dari dasi ran turun ke renu di uma-uma manaran mempunyai pertalian hubungan sebagai fetosawa-umamane yang berlangsung dalam bentuk dua lingkaran. Karena itu dapatlah dipahami bagaimana sulitnya untuk menghilangkan perasaan-perasaan sebagai turunan golongan bangsawan pada banyak kalangan masyarakat di pulau Timor. Hal ini bukannya saja bersumber dalam diri Nai atau raja saja tetapi juga muncul dalam masyarakat luas, karena mereka semuanya memiliki ikatan hubungan keturunan darah atau jalinan hubungan genealogis.

       Dalam sistem politik kekuasaan asli pada jaman dulu sebelum munculnya jaman pemerintahan Belanda, telah dikenal luas di seluruh pulau Timor dan pulau-pulau sekitarnya tentang kerajaan Fehalaran atau Manuaman Lakan yang berkedudukan di Natarmeli Bauho, sebuah tempat yang letaknya di antara wilayah KeNaian Dualasi-Lasiolat dan Halimodo-Takirin. Selain itu telah dikenal pula kerajaan Wesei-Wehali, wilayah kekuasaan di bawah keser Maromak Oan (Kaiser turunan Putera Dewata) yang berkedudukan di Laran, dataran rendah Belu Selatan. Di antara kedua kerajaan yang sangat kenamaan ini terdapat jalinan hubungan fetosawa-umamane karena putera raja Wesei dari Fehalaran telah mempersunting dan memperisterikan puteri raja dari Wehali sebuah kerajaan yang berkedudukan di Laran, Belu selatan. Hubungan sebagai fetosawa-umamane antara kerajaan Fehalaran dan Wesei-Wehali ini seringkali dilambangkan sebagai hubungan uma hae (artinya, uma fukun yang beratapkan rumput alang-alang atau hae manlain) dan uma tali (artinya, uma fukun yang beratapkan daun gebang). Hae manlain atau alang-alang (Imperata cylindrical Beauv L.} banyak terdapat di wilayah kerajaan Fehalaran sedangkan pohon gebang tersebar luas di dataran rendah Belu selatan, wilayah kekuasaan kerajaan Wehali dan Waiwiku.

       Menurut H.J.Grijzen sebagaimana yang dikutip oleh Koentjarabinggrat (1986) bahwa tipe struktur sosio-politik kerajaan Fehalaran, yang juga dikenal sebagai Natarmeli Bauho, adalah sebuah replika dari sistem politik asli yang masih bisa dilihat hingga ke saat ini. Berdasarkan pendapat ini maka pembicaraan selanjutnya hanyalah difokuskan pada sebuah gambaran atau deskripsi ethnografis mengenai kerajaan Fehalaran atau Manuaman Lakan yang berpusat di Natarmeli Bauho sebagai sebuah tipe integral dari sistem politik tradisional yang sampai sekarang masih berfungsi dan berlaku dalam hukum adat dari masyarakat adat yang bersangkutan. Sebagian besar informasi mengenai kerajaan Fehalaran di bawah kekuasaan Loro Fehalaran dari jaman lampau yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini diperoleh dari informan tetap penulis yakni, ama Alfons Mau dan ama dato Moruk, yang dipandang sebagai tokoh peradatan dari keNaian Dualasi-Lasiolat. Selain daripada itu penulis juga sangat berutang budi kepada Bapak  Drs. Paul Y. Asa, ketua Yayasan Budaya Tetun, karena melalui karya-karya tulisnya penulis telah memperoleh banyak gambaran-gambaran ethnografis tentang genealogi (silsilah keturunan) para penguasa asli kerajaan Fehalaran, tentang tanah asal usul dan arus gelombang migrasi penduduk yang mendiami Kabupaten Belu pada dewasa ini, sistem politik kekuasaan asli dan catatan-catatan penting lainnya.



[1] Stratifikasi adalah sebuah istilah atau kata yang berasal dari bahasa Latin stratum, yang artinya sebuah lapisan menurut Pitirim A. Sorokin.

Diesen Post teilen
Repost0
16. Februar 2009 1 16 /02 /Februar /2009 16:25

   SOCIAL STRUCTUR
By: Herman Joseph Seran 

1. The Social Structure

Social structure is the organization of a group or a community from the point of view of positions and roles: it is a formal abstraction of social relationships functioning in a community (Kessing, Roger M., 1992: 113). It is, “a network of social positions that are assigned relatively fixed tasks, responsibilities and avenues of communication” (Lundberg, George A., CS., 1963: 141)

The traditional social structure of the Ema Tetun in the kabupaten (administrative distrct) of Belu in general and among the Ema Tetun in the Fehalaran realm in particular basically consists of fukuns, or uma-manaran and uma hun (literally, clan, village clan house with a name and core house). The uma manaran, uma hun, or uma fukun  (shortened, uma) in philosophical terms is the center of life of a lineage group formed on the basis of ancestral ties brought about through a patrilineal marriage system based on a bride wealth or dowry pattern called faen kotu. By the faen kotu the dowry or bride wealth given is sufficient to cut the bride off from rights in her own uma or clan and gives her full member status in her husband’s clan. In that manner are first formed the social groups called uma, each one having potential to be the umamane (the wife-giving clan), and the fetosawa (the wife-taking clan). In ages past, marriages in Fehalaran were contracted exclusively by this dyadic social exchange pattern. This system is known by the term inuk tuan - dalan tuan (literally, old track-old path). Any deviation from the system has to be with the consent of the umamane. The term umamane actually means “the man’s home clan”, but it designates the one and only uma where the man gets his wife or life partner. Marriage outside this channel may be countenanced on the basis of consent by the uma involved in regard to another uma, one which is directly included within the same blood lines of ancestry. Thus there sometimes occurs a kind of intermarriage called isin babilak-diin babilak (literally, turning over the body and turning over the ribs) in which a male member of an umamane gets married to a woman from the fetosawa, although such a marriage is rare. So, the main feature of kinship or descent groups between the Ema Tetun of Fehalaran is the fact that they are agnastic descent groups called fetosawa whereas the female-line descent groups are called umamane. But among Ema Tetun in Kabupaten Belu in general, there is a somewhat unusual feature like Lio kinship, as also observed by Howell, and this is the existence of descent groups in both the father’s and mother’s lines (Howell, Signe, 1996: 257). In Ema Tetun-Fehalaran practice, kinship or descent groups are reckoned along male lines, while among the Ema Tetun Fehan in the Wesei-Wehali realm of Southern Belu, the practice is that of reckoning kinship along female lines.

Furthermore uma members are divided and classified into social levels or classes. Such hierarchical social classification with respect to position and roles is known in sociology as social stratification[1] thus resulting in social classes.

In general, placing people in hierarchic and complementary levels on the basis of descent groups is a characteristic of traditional society. H. J. Grijzen, a Dutch controleur or administrative district head of the onderafdeeling (Dutch administrative district) of Beloe in the year1904, conjectured that in former days when feudalistic political rule was still dominant, the people of Timor in general and the Ema Tetun in particular were stratified into three social classes, namely, the Dasi or nobility who held the most essential and internal social position, the Renu or free common people who came on the circle next to the Dasi, and the Klosan or Ata, servants who were not free and who occupied the outermost social ring.  

For convenience in the analysis, these social classess will be treated in this order:    1) Klosan or Ata, the slaves;  2), Renu, freemen or common men; and  3), Dasi or the nobility. To get a clearer picture of the social hierarchy of Timor in general and of the Ema Tetun inhabiting Belu district in particular, we must go back to the origin of the social classes in the community formation age through outside influences until the time when H.J.Grijzen wrote his book in the year 1904, that is, after the Dutch had colonized Belu for more than forty years (Parera, A D. M., 1994).

When the people of Timor began to organize themselves during the period of closed societies, the natural law of "survival of the fittest and elimination of the unfit" must have been in effect. Their associations then knew only two forms: first, being friends with a life lived together in close union, with mutual protection and mutual help; and, the second form, being enemies with mutual killing. Any personal relationship outside the closed society unit meant an inimical one and death.

Thus the basic social unit was the clan, which in Belu, particularly among the Ema Tetun was -- and is still called -- a fukun or uma. A fukun is a genealogical unit that meets all the needs, spiritual or worldly, of its members through shared responsibility and shared rights and duties under the leadership of a clan chief whose title is dato (originally datuk in Indonesian language). The dato's position used to be only as the principal man among equals, a primus inter pares.  Very often he was also called the dato fukun, head of the clan. The datos did not make up a separate social class above the renu or common people because in a dato's everyday life, he was closely connected with his fellow uma members.

It was possible for a union of several fukuns to get a dato for its head. The members of a  fukun used to be divided into two classes, the renu or the common people who were free, and the klosan or ata, domestic servants who were not free.

 

     1.1. The Klosan or Ata

The klosan or ata made up a class of domestic slaves. These were the captives acquired by winning in wars, those sentenced to death but ransomed by somebody else, and those sold away by their own clans for non-fulfillment of a task allotted by adat or tradition.

Slaves who had just been newly won in war often got considerably rough treatment. They could be physically punished or killed. But if they behaved well, they usually got decent care, trust and favorable treatment from their owners. Domestic slaves were private, not clan, property.  Usually good and faithful ones, especially the children of slaves, those born within the clan, got equal treatment, or sometimes even better than that given to the children of members of the clan. Sexual congress of domestic slaves with their master happened often, and children of such unions generally got good treatment, even eventually the same rights and tasks as other members of the clan. Virtually all slaves were originally political captives or prisoners of war, now being prepared to get the status of members of the clan, their new home, in order to strengthen the home front, the clan of their masters.

But when eventually the society, which had hitherto been a closed one, began to recognize the economic and social aspects of relationships in a larger society, then the practice of slavery was steered in that direction.  Slave trade in Timor livened up with the arrival of people from the West. Tribal warfare got a new incentive for the kidnapping of people from other clans and selling them. Even fukun members became much too ready to take action on fellow clan members who had not yet fully paid debts owed according to adat or customary law. By this means, many offspring of sisters to clansmen were sold. Ordinarily, on account of the adoption system or kaba in the fetosawa-umamane alliance by inter-clan marriage, such a situation must have given rise to anger and revenge from other related fukuns.

In H. J. Grijzen’s notes (in Mededeelingen Omtrent Beloe in Hidden Timor,1904: Ch. IV), it is said that the Resident Minister Ter Herbruggen (+1761) hunted and captured the Timorese for slaves with the use of hunting dogs (in a manner comparable to the former practice of catching Negro slaves). The Resident Minister van Aste (1784-1789) acquired 1000 slaves for the market. But in the Resident Ministers' political game of playing off the native tribes against each other, the most successful one was Resident Hazaert (1808-1833) who gave added incentive for war and rebellion among the rajas (local princes) of Timor, which meant an increase in the Timor slave trade.

These are the facts of what has been cynically interpreted by some Western writers as that the inhabitants of Timor were wild, uncivilized and cannibalistic.  "...anurackgenogen in die Bohlern der Felsen...immer in Waffen, immer in Kriege...Menschenfrasser..."(in Algenemen archiv fur Ethnogrephie und Linguistik, 1806, as quoted from the travel reports of Peron and Freycinet).

After the Dutch had supported and increased the slave trade in Timor for centuries, then, through the Pax Neerlandica or Pax Netherlandica (peace under the Netherlands), Holland herself stopped the sale of slaves in the beginning of the 20th century (Widyosiswoyo, Supartono, 1992).

                            

     1.2   The Renu

Renu simply means people, citizens; essentially, it means free clan members.  Members of the clan are those born in the fukun or uma of parents who are clan members, or those adopted from other fukuns connected with it by a fetosawa- umamane alliance by marriage, or through the traditional adoption ceremony called the kaba. The kaba rite consists of an anointing with betel-areca nut spittle performed by the respective heads of clans related as fetosawa-umamane. A fukun member, after a ceremony of invocation to the souls of the ancestors, is placed on the knee of the chief of the uma manaran which is to receive him; he is anointed with betel-areca nut spittle on his forehead and on his navel to signify that from that moment he is to leave his old village and go to live in his new adopted village.

This ceremony was relevant during those times when each clan owned territory that had strict boundaries. In the present time when most territorial limits are practically in disuse, and in a few places where such boundaries are completely obsolete, such a ceremony would only be an empty one.

Even a stranger who has no claim to any fetosawa-umamane relationship may receive asylum in a clan as a helin an or refugee; he may also be subsequently received as a full clan member through the simple ceremony of invoking the souls of the ancestors together with a kukun etun or ancestral feast.

All those with the status of clan members have equal rights and duties and are protected and treated with the same justice. All needs, spiritual and corporeal, in all matters whether political, economic, social or cultural, are collectively taken care of under the leadership of the head of the clan. Those who have undergone the kaba or adoption into the fukun, as well as those that have taken asylum in that clan, have rights and duties of the same weight as those of their fellow clan members who may have been such from birth according to parental status.

Suppose for example that in clan X there are three siblings, A, B, and C, and in clan Y there is also another set of three siblings, D, E, and F, as well as another member received in asylum, a helin-an called G.  Now, D, E, and F of the second clan have no blood relationship with A, B and C because their parents have been adopted from fukun Z. Subsequently A from clan X is adopted into clan Y to become a fellow clan member of D, E, F, and G. Suppose B in clan X gets into such a difficulty as a lawsuit involving a fine; then his sibling A, now in clan Y, would not owe him any assistance or have the duty to help him.  A may feel husar moras (literally, "a painful navel"), that is, fraternal pity at seeing his brother in that difficulty, and privately, he may give voluntary help of harik kotuk sorin (literally, "standing behind and nearby"). Perhaps, he may ask help from his alin maun group (literally, "brothers").  On the other hand, whenever A's fellow clan members D, E, F and G get involved in litigation, A has a positive duty to help them.

The uma or fukun head takes under his leadership all uma members irrespective of their origin. Tasks are apportioned fairly to all fukun members by the simple ceremony of giving to each one a number of corn grains or some fragments of palm midribs, each representing a task. Absent members have their portions sent to them. A member who is unable to fulfill his assigned task is given a traditional punishment such as, for example, banishment from the clan. On such occasions, the clan member who cannot obtain by force the help or contribution of a sister or a female cousin, or is afraid that this kinswoman may be unable to help him, may sell one of her children into slavery as mentioned above.

Grijzen on Belu and Steinmets on North Central Timor (TTU: Timor Tengah Utara) in 1918 have written that Timor villages were generally found on the tops of hills and mountains, abounding with sharp rocks and stones and difficult to attain by traveling on foot. These villages were further enclosed in stone fences or thorny bamboo groves or cactus hedges.  The reason for this was the constant warfare between villages. The village, called leo or kanua  (read k'nua) in Belu, constituted the center of clan territory.

If the security situation allowed it, a clan member could move into a village to plant a field nearby. The area in which the field was located was called a lo'o.  The territory around the Kanua (k'nua) and the lo'o belonged to the fukun concerned. Land cultivated by any clan member became clan property by right of occupancy. But in the meantime, relationships of fetosawa-umamane would go on between umas, and thus, the roofbouw or cultivated land would often have to be deserted after a few years to be overrun by forests again. When the former field is turned back into forest, right of occupancy shifts back to equality for all members both by the fetosawa or wife takers and the umamane, the wife-givers or the wife’s clan, and eventually boundaries get vague in everybody's memory until they are completely forgotten or lost. On that account, Grijzen said that in making a field, anyone would be free to work on a piece of land without the necessity of asking permission from anybody. The intention or desire to plant a field on free land was indicated by hanging leaves around the area or placing some trees there known as tara horak (which literally means to give a prohibition sign). If somebody else should wish to work on the same piece of land, a discussion would be held on the common problem, after which, if no solution is arrived at, the head of the fukun would be consulted. In Belu there are almost no quarrels heard of regarding land boundaries, especially at that time.

There is a special term for land ownership, that is rai nain, which literally means landowner. Landowner or rai nain in this sense refers to the fukun or clan that has worked on that piece of land as its owner from generation to generation.

The term rai nain  (rai = land, and nain = master or lord) may also refer to the dryads or spirits in the trees or huge rocks in animistic belief.

Rai oan  (oan = child, and rai = land) means the aborigines or indigenous dwellers. Grijzen says that if a Tetunese is asked whose property that vast untilled land is, he would reply ambiguously, "It is the property of the king or the nai and of the dato,” for these have full autonomous jurisdiction on all affairs of the people including their right to work on the land. However, in Belu, there are stories indicating land ownership, as there are also people who call themselves landlords or landowners because their ancestors are of that land:  Moris lake rai, tubu lake rai means "we have lived and grown up cultivating this land," and there are those whose ancestors, as they claim, were dropped straight from the sky on those hilltops or any other stated place. Such ownership, however, does not have the force of agrarian law.

At present with the increase in number of uma members and the arrival of newcomers from outside Belu district, the problem of owning land has become increasingly complex. Grabbing of uma-owned lands by non-uma members often occurs. They often sell the land they have grabbed to a third party. Some uma members sell land owned by their uma without the knowledge and agreement of other members. The situation gets more complex because sometimes the local government ignores rights to uma land according to applicable customary law and takes over land specifically owned by certain umas, giving as reason their intention to construct infrastructure such as roads or other public facilities in the public interest. To prevent conflict between rightful owners of land and those not rightfully owning it or between land owners and the government, agrarian laws have been established, these having the function of affirming rights of possession of clan lands, or of those individually owned, by issuing certificates of land ownership.

 

     1.2.1   Development of the Fukun

A fukun (literally, a bamboo internode) denotes the symbolic meaning of uma manaran (literally, house with a name, shortened uma) as a kinship lineage for an exogamous and unilateral kin group. Every fukun or uma, as well as cluster of umas related by fetosawa-umamane associations, usually occupies a village site called a k'nua or leo.  The village is usually circular in arrangement, is located on a hill or any high place, and is surrounded by a fence of piled-up stones, on top of which are planted thorny plants such as cactus. This is to make the place safe from enemy attacks, considering that in past ages wars used to be waged between clans for power and mastery over the land (Grijzen, Mededeelingen Omtrent Beloe in Hidden Timor, 1904). H.J. Grijzen, who was a Dutch controleur (administrative head) of the onderafdeeling (Dutch administrative district) of Beloe in the early part of the 20th-century, has disclosed that those defeated in such wars used to be held captive and worked as slaves (klosan or ata) or traded away.

In Ema Tetun traditions, the descent group called the uma kain or the household, is a unit inseparable from the descent group known as the fukun or popularly known as uma fukun, uma hun or uma manaran (meaning, village clan house, core house, village clan house with a name).  Fukun corresponds in meaning with the term deu in Bunaq language, hu'un in Kemak language, kanaf in Atoni or uab Meto (Meto language), and klen or suku rumah (house clan) in Bahasa Indonesia (the Indonesian language.) The uma manaran, which refers to the clan house, is the symbol of a living alliance, the center of community life embracing all aspects of human needs, such as, economic and social life, the basis for fostering customs and traditions, the basis for moral character and spiritual formation to strengthen the uma members’ personalities. 

As center of education and character formation, the uma functions as a basic institution in which, from childhood, the members learn courtesy, practices in friendly association, and the whole system of adat or traditional rules. Learning is done through a lifelong process of socialization and enculturation consisting of full participation in daily activities and important events of uma life. Thus the uma manaran and uma kain carries on their main functions as basic institutions for guaranteeing the well-being of children and the formation of their character, for handing down ethical principles, working skills and other worthy values, and for giving firm support of genuine kinship affinities.   

As mentioned above, the uma manaran also functions as a center of moral and spiritual activities, for in the uma are held ceremonies of worship and traditional rites directed to the ancestors. The latter are those already at rest in the sacred world of eternity, a holy world of quietness and peace (Iha kukun ba, iha roman ba, iha metin ba). Worship of the ancestors is usually done under the main house post, the kakuluk manaran, because it is here that all ancestral possessions are kept as well as those of other relatives who have passed away, particularly betel-and-areca boxes and other personal items considered sacred or possessing magic power. The main house post itself symbolizes a stairway and medium of communication of the clan head through the ancestors with the Highest Being, the Creator and Protector of everything in existence. Communication is carried out through the mediating services of the ancestors, and it is done for the purpose of presenting petitions for safety and protection for clan members so that they may be kept away from illness, disasters and other calamities. 

Other ceremonies held under the main house post are traditional weddings called hakur fahi ran, meaning “stepping over pig's blood”. The action symbolizes a vow of lifelong fidelity between a man and a woman, with their ancestors in the world beyond witnessing it, as well as the umamane and fetosawa elders and the parents of both parties. 

It may therefore be understood that the uma manaran or clan village house functions not only as a building but also as a center of interrelations between structures, people, and ideas or points of view (Carstan, Janet, et al., 1995: 5). Levi Strauss called the uma manaran or village clan house as la maison societe or house societies (Carsten, Janet, et al, 1995: 1). Thus the uma manaran may be described as the center of life of a genealogical association, for it is based on blood ties, descent, and kinship relationships.  In the uma manaran every member gets a feeling of security for it is here that his needs -- physiological, material, social and psychological -- are met.  His moral bond with his uma is one of pure kinship affinity. Periodic visits to the uma manaran and uma lulik or uma kukun (sacred cult house or dark house) are of great significance for two reasons, first, it is on such occasions that the Ema Tetun feel able to obtain matak no malirin (literally, greenness and coolness) by means of various ceremonies such as tau manas or kaba (literally, to give warmth or anointment). At a philosophical level, matak no malirin symbolizes health in its widest sense. In anthropology, matak no malirin is rendered into translations of varying meaning such as “energy for living”, “the spirit of life”, “the source of life”, “the energy of the cosmos” and “motivation”. Therefore the Ema Tetun’s expression of ba uma (going home for a visit) philosophically means going back to one’s place of origin, going back to the source of life, returning to one’s identity in community living. The second reason is that periodic visits to the Uma (Uma Manaran, Uma Hun, Uma Lulik, or uma kukun) constitute special opportunities for all uma members to renew and reinforce their kinship ties since they come from the same origin. In Lia Tetun (Tetun language) such visits are characterized as kalibur uma hun ida (literally, reunion of those from the same source), recounting their origins or hodi tatoli malu, hodi hatutan husar binan ba malu (meaning, to bind each other by retying their fraternal bonds since they all come from “the same umbilical cord”).  

All uma members belong to a clan consisting of those believed to have descended from a common founding ancestor. Several ways by which one may be considered as an uma member, are most fundamental. The first one is birth within a traditional patrilineal marriage by which the child becomes a member of his father's clan after all dowry or bride wealth requirements by customary law have been met.  If none of these obligations have been fulfilled yet, the wife and her children continue to be members of the maternal clan and the husband has to live within his wife's clan in an uxorilocal living arrangement. The second way of becoming a clan member is by an inaugural adoption ceremony called a kaba, which means an anointment.

The Ema Tetun Fehan branch occupying the lowlands of Malaka or the southern part of Belu district practices a matrilineal descent system. For them, the marriage pattern is one that is uxorilocal or matrilocal, and the husband becomes a member of his wife's clan. The children born of the marriage get to be under the authority of the wife's brother, whereas her husband lives with her in her clan, taking responsibility for her welfare, that of his children and even that of all his in-laws. For the latter reason, no dowry is demanded. One of the children born of the union comes to be called a mata musan (literally, apple of the eye) and is sent over to his / her father's clan to take his place. A girl is often preferred for this purpose.

To ease tension between umas and maintain lasting peace, the strategic policy that used to be resorted to was to forge traditional marriage alliances between umas through inter-clan marriage ties of fetosawa-umamane. Of the two clans concerned, the fetosawa was the wife-taker whereas the umamane was the wife-giver.

In a wider relationship network, such as between ethnic groups, the policy resorted to was that of forming a traditional fraternal social alliance effected through a blood compact by adat, a pledge known as hemu moruk metan (literally, to take a sacred oath-taking drink) signifying a mutual pledge of loyalty such as that in the relationship of an older brother with his younger brother, alin-maun, a fraternal relationship. The blood compact was performed by the two parties’ drinking from the same cup a strong liquor known as tua ulun, mixed with blood droplets, the latter having been drawn from the fingers of both. Through the drink, which was considered sacral, they pledged fraternal loyalty. Whoever broke the pledge by fighting, quarrelling or engaging in mutual imprecation and execration would be bringing down a curse on them, a misfortune such as sudden death or other calamity. Whoever betrayed the oath would be consumed by it for they would have gone into it voluntarily. Today an alin-maun pledge still adhered to down to the present is that between the three ethnic groups of Belu, Sabu, and Rote Tii. The pledge is known through the often-repeated saying of Belu Mau, Sabu Mau, and Tii Mau, which means "Brother from Belu, brother from Sabu, and brother from Rote Tii."

A fukun eventually develops into great size and power. On account of population density or crowding or any other reason, some of its members may transfer to vacant territory somewhere nearby to make fields. In this new place, still within the lo'o but rather far from the kanua, they may form a branch fukun by themselves. Since, in the traditional ceremonies, they would have to talk to the souls of their ancestors, and as their new place would be rather far from the core house (uma hun) in the kanua or village, they might have to build a provisional clan house, or, as is more usual, the place of worship would be temporarily housed in the home of the chief of the lo'o. The fukun branch thus formed would be called uma or uma manaran (literally, "house with a name," the name of the clan). For example, Uma Leowes, Uma Astalin, Uma Leoklaran, Uma Mane Sanulu, etc. In deciding important problems involving tradition or adat, they must join themselves with the mother or core house of the clan (uma hun). A similar progressive development may occur in the separation of a “twig” from the branch, in which case, the twig is called ri manaran  (literally, a post with a name). Each uma manaran and ri manaran may develop further and eventually separate itself absolutely from the mother or the core clan house, and, on the other hand, there are fukuns,  uma manarans and ri manarans that have shrunk away or have been wiped out.

Several fukuns have a sacred cult house called uma kukun or uma lulik or uma kakaluk, a place where ancestral tokens, such as betel containers that used to belong to the departed ancestors, are kept.  Betel containers for women are called ko'e matebian and those for men kakaluk marebian. All ancestral tokens in the form of betel containers or other heirlooms are kept in the cult house, as also the wealth of the fukun, either those inherited from ancestors or those obtained as war spoils or in other ways. These equipments and ornaments are kept in the house and are under the responsibility of the head of the clan.              

    

     1.2.2   Organization of the Clan House and its Symbolic Meaning

 

In previous discussions it has been said that the life of the Ema Tetun is closely connected with or centered on the uma. This is a characteristic view of the life between the clan and the uma. In connection with this view, a brief description will be given here regarding the organization, the symbolic meaning and the kinds of traditional houses of the Ema Tetun.  In lia Tetun, the Tetun language, the general term for a house is uma. It refers to the physical form of the construction that is for people to live in so that they may be protected from discomfort caused by heat and cold and from dangers owing to nature and other human beings. The term uma insofar as it means a residential place usually refers to the uma tur fatin, a place to live in usually occupied by a family.  The latter is called uma kain.

An uma may also be a building that functions as the clan house. This is ususally made of logs, large betun bamboo, and long hae manlain or tall grass (Imperata cylindrica Beauv L.) for the roof. The main house post is called the kakuluk manaran (main house post with a name) and it has to be made from a specially chosen tree in an adat forest and should be about 10 meters in height. As the main post has a symbolic meaning for the life of the clan, the felling of the tree concerned has to be done by all members of the uma or clan together. The activity has to be preceded by a ceremony of offering as well as of asking permission from the jinn or spirits as custodians of the forest concerned so that the endeavor may get their blessing. The two poles that have been cut down are decorated and carried away by the sons of the clan, including the sons-in-law. The two main posts derived are intended, one for the grandfather and the other for the grandmother of the clan.  

When, soon afterwards, the activity of constructing the clan house or uma manaran is to be started, it should be preceded by a ceremony of determining the house “navel”, that is, the center of the house.  This is done with the services of a makdok.  At the spot pointed out by the makdok, a hole is dug to put in the head of a karau or water buffalo, the latter being the victim offered up in the ceremony. The karau head symbolizes strength and is intended to make the clan house stand firm. The construction of the house or of any house is done by means of a hakawak, which means a traditional working together or cooperation of all clan members. When all the work of construction is completed, a ceremony of  "cooling down" the house (a house warming) is held, one called, ha uma wen (literally, to eat the results of the work done on the uma manaran). At present, all dwellers of the village and the area around who can still claim a fetosawa-umamane relationship with the uma concerned are invited.  During such important occasions in uma life, many animals like buffalos and pigs have to be slaughtered because the ceremony bears the meaning of worship to the ancestors to beg for protection and safety for the kin group. It is also meant to be an opportunity to wrap up all forms of conflict and feuding between descent group members and reunify the whole kin group or clan in ties of affinity.

In general, a clan house in Fehalaran, which is in the present Tasifeto (Northern Belu) area, is egg-shaped or like an upside-down canoe, is perched on stilts like a platform house, and is roofed with hae-manlain, a kind of long grass extending down to the ground.  Its arrangement is as follows. It has two doors, one called oda matan lor (literally, "the door where the sun rises") intended for visitors and for men, and the other called oda matan rae (literally, "the door where the sun sets") intended for household members and for women. The oda matan lor should face the east or the rising sun which is considered to be a position bringing luck, material wealth, life, goodness and a bright prospect in life like the sun starting to shine on the earth to brighten and warm it. The oda matan rae usually faces the west or the direction of the setting sun as the door symbolizes twilight time in the life of this world. It is the time when people are faced with many difficulties, sufferings, loneliness and finally death.      

The house has two main posts known as kakuluk manaran (main house post with a name), one symbolizing male ancestors and called the ri bei mane, and the other female ancestors and called, ri bei feto.  On the male ancestor post, property left by deceased ancestors like betel and areca nut containers, and other mementos considered sacred, are hung up. The same great post also symbolizes a medium of communication with the ancestors through the sending up of prayers petitioning for the well being of all uma members and other intentions.  It is also on this post that offerings of betel and areca nuts are placed for those who have died.   

Other important parts of the house are:

a.       salak or wide bench placed at the rising-sun door, the oda matan lor.  The salak is intended for guests and as a place for holding meetings, doubling as a bed for unmarried men to sleep on at night. 

b.       uma laran or inner part of the house containing a very wide couch usually intended as a bed for unmarried women and children. This inner part is also used as a place for ceremonies of worship to the ancestors, traditional weddings, and child adoption. 

c.       kahak or the attic above the salak which is intended as a storeroom for foodstuffs like corn and legumes and as a place for keeping heirlooms.    

d.      sete, a high shelf placed between the women's bed and the fireplace just beyond the bed. The shelf is used as an altar for offering oblations to ancestors or to clan members who have died.   

e.       hai matan or fireplace at the back just across the women's bed. This is used as a cooking place or kitchen. As the roof reaches down to the ground and there is no other ventilation than that provided by the two doors, the house is basically dark and smoke cannot easily get out of the house. The smoke, however, has the function of smoking the corn kept in the attic so that this foodstuff may not get attacked by insects or get spoiled.

f.        uma ain (literally, "the foot of the house") which refers to a bed at the hindmost part of the house which is already separated by bamboo walling or a board from the inner part of the house. The head of the clan usually occupies the room. When the clan head does not use it, a young woman who has lost her virginity uses the room so that at nighttime, she can have meetings with her paramour (See the description of adat marriage among the Ema Tetun having a patrilineal social structure). If the room changes function and becomes a nocturnal trysting place, it is called a loka (a small room).  A visual depiction of the house plan may be seen at the end of this chapter.     

The uma manaran as the center of clan life has a symbolic meaning showing interrelations between buildings and people and their ideas or outlook on life.  The uma manaran or “village clan house comes to stand for social groups and represent the world around them" (Carsten, Janet (ed.) et al., 1995: 1) Therefore, in symbolic meaning, the uma manaran serves as a symbol of unity in kinship affinity, as the center of clan life in the field of culture, of social education, of home economics, and of moral and religious life. The uma manaran is genealogical in nature because its members have a common founding ancestor. An uma manaran (literally, "house with a name") or uma hun (clan core house) like uma Leowes, uma Dato-Alin, uma Astalin, uma Beitula, uma Mane-Sanulu, uma Leoklaran, etc, is a symbol and center of clan life in various fields.

The different names of uma can be given in detail as follows: 

a.       uma tur fatin or the home of the family unit, the uma kain.

b.      uma manaran or uma hun meaning the village clan house or core house that belongs to the kin group or clan called the fukun whose members have a common basic ancestry.

 c.  uma lulik, uma kukun or uma kakaluk (literally, sacred cult house or dark house) which is the consecrated  place where ancestral mementos are kept such as betel-areca nut boxes, jewelry such as morten beads, gold disks, head ornaments, and other devices like spears and machetes that had been used in war. All these heirlooms are considered sacred and as possessing magic powers. The sacred house is occupied only by the clan head or a family unit given the task of taking care of it. Important ceremonies of the clan members are usually performed in this sacred or dark house.    

c.       uma hun ( literally, “core house”) or the original clan house.

d.      uma metan (literally, "black house") or the king's palace. Black symbolizes sacredness or the nobility who are in power.

e.       uma lo'o, which is a temporary dwelling for a clan member to live in while he is working on a garden that is far from the k'nua or clan village.

f.        uma toos, which is a hut or shelter in a garden used in watching over the crops in the field so that the produce might not be stolen by thieves or raided by animals.

 

1.3    The Dasi

After tracing the development of the fukun classified above and the inter-clan relationship arising from the ties of fetosawa-umamane as well as alin-maun (see below), the need for a coordinator can be felt.  This is realized in the Nai or local prince who must have dasi or royal blood.  Nai is just a term of address, an honorific, whereas dasi is the name for the blue-blooded class. 

An authority on Indonesian customary law, B. Ter Haar, advanced the opinion that the person of the prince himself, together with his official equipments and ceremonial ornaments as sources of magical power, constitutes an absolute requisite of his leadership (B.Ter Haar,  Adat Law in Indonesia, Bharatara, 1990).

But in Belu and in most places in Timor, the problem of a leader's personality falls in second place. If within a fukun there is a head or principal man among equals, similarly in inter-clan relationships there is a fukun determined as the primus inter pares, the leading one called the fukun dasi which constitutes the nobility, the class of nobles, whose head is the one acknowledged as Dasi or Nai.

In deciding on the ruling fukun, the requisites taken account of are not only the equipments and ornaments possessed; more important is the fukun's authority and standing and its relationships with other clans. This is generally determined by its position as umamane or bride-giving clan. The greater the number of fetosawas (wife-taking clans) coordinated by it, the safer is its own position. To strengthen the above-mentioned requisites, myths are woven to lend grandeur to the fukun dasi's leadership such as that the head is descended from heaven, etc.  This leading or noble clan's position is accepted as hereditary until for some reason it declines and falls. 

When the above-mentioned requisites of clan nobility have been fulfilled, only then will the qualifications for becoming Loro or Dasi be investigated, among which the principal one is that the candidate must have dasi blood unalloyed by any mean hereditary elements. With that, the requisites may be considered complete.  The fact that ability as a requirement is relegated to the last place is owing to the consideration that a Loro or Nai is a coordinator who does not have plenty of active responsibility because everything is taken care of by his staff.

When eventually, a noble clan can no longer present a candidate acceptable to the people and capable of office, it is then said that the royal line is at an end. Therefore, the people hold a consultation to consider candidates from other noble clans. When the institutionalized consultation meeting, called a mon metan (literally, "consultation and deliberation") has attained its end, the noble clan concerned has been informed of the matter, and everything else has gone smoothly, then the people collect as much money as has been asked for by the source clan to let the new Loro or Nai be adopted or bought off from them. Getting a king in this manner is termed faen or  hafoli which means “to take or to adopt” except that these two terms are limited in use to faen or hafoli dasi and faen or hafoli feto  (literally, "adopting a king," and " taking a woman or wife"). For the purchase of things in general, the term sosa is used. The position of the woman "bought" this way is honorable; her title is uma nain, mistress of the home). Similarly, the Nai who is "bought" becomes master of his adoptive kingdom. This "purchased" king is taken into the principal noble clan and usually married to one of its members.

Grijzen says that a nobleman is addressed with the term Nai, which is true, but his saying that to express more respect the terms used are rai nain, and ata nain is a confused account.  Actually, nai lulik (nai = king and lulik = sacred) is used to refer to a Catholic religious leader or priest. Rai nain  (rai = land, and nain = master or lord), as already stated above, refers to a spirit in a tree or rock. An ata nain (ata = slave, and nain = master) is anybody who owns slaves. When people talk in front of a nai, they express humility by calling themselves itan ata, "your slaves or servants."

Grijzen’s assertion that the children born of a marriage between a nobleman and a woman of lower status get the title of dato is not accurate. Dato is a title of office. It has been mentioned above that there is no class of datos in itself. It is conceded that the dato, as a leader, gets respect from his people and also the required facilities, but he does not possess a social status absolutely higher than that of his people. He is not addressed in noble poetic language, the language for those of dasi level. As in Javanese the three language levels of ngoko, kromo, and kromo inggih are known, so also in Tetun language (lia Tetun), there are three language levels, that for adat affairs called lia sasokar, that for the dasi known as lia hakneter, and that for the renu or common people called lia dale. A decline from the nobility as mentioned by Grijzen has indeed given rise to the term dasi alin (literally, younger or junior or lesser nobility) but the person concerned must belong to one or the other clan and he is not automatically chosen as dato. He may continue to live in the clan of the nobility but he has to forego the right to be chosen as Nai.

N. Th. Overaher, controleur of Belu, in his memoirs of the year 1927, differentiates the classes dasi alin, dasi ran, dato and renu. To the term dasi ran he gives the meaning of "pure nobles" who do not yet have any blood mixture with a lower class; the dasi alin constitute a devalued outgrowth from the dasi as explained above. About the renu and the dato there has been a clarification given above, and now, allow me to express my opinion about the dasi ran and the ordinary dasi based on some information as given by an adat elder, ama Alfons Mau.

Each fukun has mutual connections with other fukuns, whether those of fetosawa-umamane or those of alin maun. First-degree relationships between those clans form endless circles but there is always one leading clan, the fukun dasi. Elsewhere simultaneously, there are also other such interrelationships among the same clans. This results in many noble clans, each and all of them being leading ones, distinct genealogical bunches made up of the same genealogical units.  In my opinion they may be classified in the category of middle-class nobility.

With the existence of so many middle-class dasi, all having their respective inter-clan relationships of fetosawa-umamane, there have to be higher-level coordinators whom, in this case, I place among the dasi ran. Therefore, in my opinion, the term dasi ran would refer to high nobility and not just to pure blue-bloodedness. Everybody from the dasi ran down to the renu of the umas has relationships of fetosawa-umamane that shift and run in two circles. It is thus understandable how difficult it would be to eliminate feudalistic tastes in Timor, this not being only rooted in the Nai or local prince in person but in the people, for they all have intertwining genealogical links.

In the indigenous political hierarchy before Dutch times, there used to be known throughout Timor island and the neighboring islands, the Fehalaran or Manuaman Lakan kingdom with the seat in Natarmeli Bauho in the traditional village of Lasiolat and the kingdom of Wesei-Wehali, regent of the kingdom of Maromak Oan (prince of god and also the emperor), with his seat in Laran, Southern Belu. Between the two powerful kingdoms there was a fetosawa-umamane relationship because Prince Wesei of the Fehalaran kingdom had got married to a princess from Wehali, a kingdom centered in Laran, Southern Belu. This fetosawa-umamane alliance is often symbolized by the relationship between an uma hae (a house with a roof of hae-manlain grass) and an uma tali (a house with a roof of gebang palm leaves). Hae-manlain or tall grass (Imperata cylindrica Beauv L.) is abundantly found in the Fehalaran kingdom whereas gebang palms are more plentiful in the Wehali kingdom.

According to H. J. Grijzen as quoted by Koentjaraninggrat (1986), the type of socio- political structure of the kingdom of Fehalaran, or Natarmeli Bauho’s being a replica of the indigenous political system, may still be seen up to this time. On that basis, the following discussion only focuses on a description of the kingdom of Fehalaran or Manuaman Lakan with its center in Natarmeli Bauho as a still integral type of traditional political system which until the present time still functions and works for the traditional communities concerned within customary law and order. The information about Fehalaran kingdom under Loro Fehalaran of the primeval period, the subject of this research, is mainly obtained from the writer’s informants, ama Alfons Mau and ama dato Moruk who are considered as the makoans of the Dualasi-Lasiolat princedom and from some detailed remarks from the writings of Paul Y. Asa of the Yayasan Budaya Tetun (Tetun Cultural Foundation) entitled, Uma Suku Focus.

 

Diesen Post teilen
Repost0
31. Januar 2009 6 31 /01 /Januar /2009 20:07

PICT0344.jpgAdoption of Christianity in Western Timor [1]

 

An Anthropological Study of the Contact Between Christian Culture and the

Cosmic Culture of West Timor in Eastern Indonesia

 

By: Herman Joseph Seran

 (mantan dosen Undana Kupang)

(Foto: bersama Penulis Artikel di kediamannya: Oepura - Kupang: Herman J. Seran, MA) 


Abstract:

 

Herman Joseph Seran,M.A is a senior lecturer in sociology and social anthropology in the University of Nusa Cendana in Kupang, Timor, Indonesa. He took his M.A. degree, having linguistics and English for his major and social anthropology as his minor field of concentration, in the College of Liberal Arts and Sciences of the University of San Carlos in Cebu City, Philippines in the year 1965. From the year 1966 up to the present, he has been teaching in the University of Nusa Cendana as well as in the Catholic University of Widya Mandira and the University of Muhammadyah, all of them located in Kupang. Aside from his teaching activities he is also a research fellow of the University of Nusa Cendana, and has been involved in independent field research on the social and cultural life of the Ema Tetun, an ethnic group in the Kabupaten or administrative district of Belu, as well as that of other ethnic groups in East Nusa Tenggara (NTT) together with some local and foreign researhers. He attended an international conference on the Anthropology of Eastern Indonesia in Oslo, Norway held in 1992, as well as an international conference on Dialogue France - Insulinde in Jakarta in 1994. He has also made comparative studies in anthropological and sociological fields under the auspices of an academic cooperation between Indonesian and German universities, first at the Institut fur Ethnologie und Afrika Studien der Johannes Guttenberg Universitat Mainz in the year 1993, and in Frobenius Institut und Institut fur Historische Ethnologie der Johann Wolfgang Goethe Universitat Frankfurt/Main, Germany in the year 1997.

 

 

 

1.      Introduction

 

This paper bearing the title Adoption of Christianity in Western Timor as given above is presented in this eminent forum to give a short description of the results of a cultural contact between the Christian (Catholic) creed and the indigenous system of beliefs held by the Ema Tetun, an ethnic group occupying the kabupaten or administrative district of Belu in the middle part of Timor Island, the part bordering on the country Timor Leste. This writing is presented as a contribution of ideas towards the end of fulfilling the aims of this conference, which has the central theme of Christianity in Modern Indonesia. In this paper, the focus of discussion is on the aspect of the cultural contact between Christian culture and cosmic culture as shown in the indigenous system of beliefs and traditions of the Ema Tetun. Thus the focus of investigation is on arrangements for living of a socio-cultural and spiritual nature.

The Church’s role in social development, such as in the fields of social economics, social politics, law and fundamental human rights or HAM (Hak Asasi Manusia), the culture and social life of the faithful within the context of Indonesian contemporary society, will be described, even if only in outline. It is also necessary to put forward that the focus of investigation is the Church’s role in the lives of the Christians of Kabupaten Belu, considering that this area has long been the center of evangelization in West Timor for adherents of the Christian Catholic faith, the latter making up the largest group in Belu, which is the kabupaten or administrative district whose capital town is Atambua. Atambua happens to be the bishop’s seat, with the Diocese of Atambua holding jurisdiction and ecclesiastical power over the faithful residing not only in Kabupaten Belu but also in the adjacent administrative district of Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU, North Central Timor). The other bishopric in West Timor, that of the Archdiocese of Kupang, has ecclesiastical jurisdiction over the kabupatens of South Central Timor (TTS, Timor Tengah Selatan), Kupang, Rote Ndao, Alor and over the City of Kupang. On the archdiocesan level its ecclesiastical jurisdiction also extends to the dioceses of Atambua and of Waitabula on Sumba Island. As for the contribution of the Christian Protestant church to social development in West Timor, it is conceded to be probably just as great, but as there has been no opportunity for a discussion with Protestant church leaders, this side of the matter cannot be dealt with in more detail.   

Data from the Statistical Center Bureau (BPS, Biro Pusat Statistik) and the Regional Planning Board (BAPPEDA, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) of Kabupaten Belu for the year 2002 show the total population of Belu to be 385,973. Of this number, 336,331 are Catholic, 21,139 Protestant, 4,402 Muslim, 298 Hindu, and 75 Buddhist (Religion Department Office of Kabupaten Belu, 2001).   

 

 2. A Brief History of the Coming of the Catholic Missionaries to West Timor

 

The Unitary Republic of Indonesia (NKRI= Negara Kesatuan Repunlik Indonesia) comprises an archipelago situated between the continents of Asia and Australia and between two oceans, the Indian and the Pacific. This vast marine continent is inhabited by more than 220 million people. Most of this population is adherents of Islam whereas the Christian believers (Catholic and Protestant) come second in number.

World history tells us that the Christian religions came from Western Europe at about the 16th century A.D. in various stages. The Catholic religion arrived first, this being the form of Christianity propagated in Indonesia by Portuguese missionaries that had accompanied world exploration voyages made by merchants, navigators and explorers, and had later come with colonial government administrators. The groups might have come in one ship but with different aims and motivations. The traders came seeking and collecting raw materials, such as the spices of the Moluccas islands and the very high quality of sandalwood (Santalum Alba L.) of Timor, in the interests of trade and the demands of the factories in Europe (Fox, James J., 1996: 90-91). This group had the main aim of pursuing wealth. The colonizing group had the principal aim of exerting colonial power over other nations outside Europe, for the latter nations’ level of civilization was considered to be still primitive and strange. The Catholic missionaries and the zending, as their Protestant counterparts were usually called, had the principal aim of spreading Christ’s Gospel to the indigenous ethnic groups whose systems of belief were considered, from the viewpoint of the Christianity they adhered to, fully superstitious and steeped in pagan values. Therefore, viewed from the aims of the voyages of the three groups in a ship, these Europeans may be described as intrepid ocean-goers, each strongly motivated to struggle for the Gospel, Gold and Glory, respectively.

Portugal got into power and spread out her influence in the Indonesian Archipelago around the year 1511 when Malacca came into her hands as an important center of trade in the Eastern world of the time. Padres of the Dominican Order had already visited Flores Island in the 16th century of the Christian era and had built a church in the little town of Larantuka, which since then has been known as Renha town (the town of the Virgin Mary). The Dominican priests then continued their good-will voyage to the island of Timor by way of Liufao (Oekusi), a small harbor in Ambenu, the latter an enclave now belonging to the Democratic Republic of Timor Leste. Eventually they landed at Atapupu, the only important harbor in the area from that time to the present. From Atapupu the missionaries continued their journey on land to Lahurus, a small village in the interior of Timor Island, one possessing a cool atmosphere by its being on a mountain range 700 meters above sea level.

This small village was in fact the center of a traditional kingdom with widespread power, the one known as Fehalaran or Manuaman Lakan.  This was situated at the foot of Mount Lakan, a mountain 1520 meters in height. For the people of the area, Mount Lakan was a sacred mountain because from its peak came their first king, one gratuitously dropped down by the gods according to Ema Tetun legends. Evidently the Catholic priests chose the place as their pioneering village, the center of evangelization in West Timor, considering it adequately secure, being under the protection of the kingdom of Fehalaran which was then ruled over by Loro Feha Mauk (literally loro = sun, great lord or overlord) who bore the title As Tanara (looking upward). Loro Feha Mauk ruled over his domain as center of authority over several lower kings (local Princes), the rulers locally known as na’i or dasi, who carried out political powers over their own territories with limited autonomy. The Fehalaran kingdom comprised the highlands making up Kabupaten Belu of the present age and included a small area, which is now in the country Timor Leste or Timor Lorosae (Rising Sun Timor) as well as the part of the area of Kabupaten Timor Tengah Utara  (North Central Timor) named Biboki Harneno.

In 1886, Lahurus became the first mission station in West Timor under the Apostolic Vicariate of Batavia (Jakarta). This station was under the tutelage of Jesuit fathers from Holland, and one of them, Reverend Father Mathijssen, SJ, became well known, and continues as such, for he had translated the Holy Bible (Old and New Testament) and a church hymn book, as well as some prayers, into the Tetun language, the Lia Tetun. The Jesuit missionaries (Societas Jesu) also established a three-year boys’ volkschool in the year 1890, this to be followed up by a girls’ vocational school in the year 1921, this time founded by the Societas Verbi Divini (SVD ) or the Divine Word Society (SVD). All these undertakings show that the missionaries of the time were highly interested in local language, culture and traditional customs (P.Herman Embuiru, SVD. in Liliweri, Alo. et al, 1994: 57 - 81). The same source reveals that in 1913 Divine Word missionaries from Holland and Germany started to replace the Jesuits in Lahurus.
Photo: the Curch of Lahurus - Timor

07836.jpg    

3.   3. The Meeting Between the Catholic Faith and the Indigenous Belief System of the        Ema Tetun

 

In the early days of the SVD mission, particularly in the year 1913, confusion set in and many complaints came from the indigenous adat community because the people’s holy shrines and equipments such as fohos (altars built from stones to make offerings on) and aitos (wooden figurines for warding off disasters), as well as all other items of belief and living practices considered pagan and superstitious, had to be demolished and devastated. Such measures gave rise to bewilderment and objections from the adat communities including even the first ones to embrace the Christian faith because the measures taken were felt to have disturbed the harmony prevailing in their way of life and to have swept away an institutionalized culture that had formed the essence of their distinct identity. Many criticisms were similarly came from European anthropologists who accused the missionaries of having committed “religious imperialism, which far from enriching people, had actually impoverished them” (Anton Quack, in Kirchberger, Georg  et al., 1996: 36).

Nevertheless, the evangelization process continued peacefully enough, considering that the overlord or Loro, as the custodian of adat (institutionalized prescribed ways of doing things) and the feudal authority in the kingdom of Fehalaran, had already accepted the missionaries to work among his people and the latter were not to show an attitude of rejection. The Loro’s decree had to be obeyed since he had been dropped down on them by the gods. The tension and prejudice between the missionaries and the anthropologists eventually vanished after a series of meetings and intensive discussions.

It was then already recorded in the scientific world that interest in social anthropology, particularly study of the diversity of ethnic cultures, was admirably great among the SVD Missionaries, the congregation of missionaries at Steyl, Holland. In support of research endeavors, Rev.Father Wilhelm Schmidt, SVD, had published the first journal on the subject in March 1906, calling it Anthropos, being under the auspices of the Institut Anthropos. By this medium, the SVDs had contributed an invaluable service to the missionaries, the mission endeavor and to the world of science (Anton Quack, in Kirchberger, Georg et al, 1996: pp. 52-55).  From that time on, in their carrying out the work of evangelization in church areas allotted to them for doing mission work, they have always shown great interest in the diversity of customs and traditions and have made efforts to adopt cultural values and local traditions and integrate them with Christian values, particularly showing this in church liturgical ceremonies insofar as these traditions do not violate church beliefs and teachings. The movement grew more lively and world-wide in scope, particularly after Vatican Council II in 1963-1965 in Rome when the Church made herself more open to the outside world with activities such as holding dialogs with other religions and encouraging church personnel to give plenty of attention to the culture and traditions of the faithful coming from various ethnic and racial groups. We can witness this phenomenon in areas now served by SVD missionaries in West Timor in particular and in various church areas in Indonesia in general, those pioneered by various missionary societies.

For obtaining a clear picture of the process of adopting local cultural values and traditions and incorporating them with Christian religious values, a brief presentation will forthwith be given of essential aspects of the system of indigenous beliefs and views about the world as acted out in the lives of the Ema Tetun. The Ema Tetun constitutes the biggest ethnic group occupying Kabupaten (regency) Belu, already mentioned as the main part of the ecclesiastical territory of the Diocese of Atambua. Aside from the indigenous cultural values that have become their basic life, this presentation will be focused on various phenomena showing changes in traditional cultural values in social life as experienced by the Ema Tetun in this era.        

 

  4. The System of Indigenous Beliefs and the Outlook on Life of the Ema Tetun

    

The culture of the Ema Tetun, which is traditionally agrarian as is usually the case in the varied culture of Eastern Indonesia in general, is a cosmic one. As such, it believes in the existence of an extremely cohesive relationship of interdependence between the cosmological order, as well as the social and symbolic order, thereby making up a total system. It is in this totality that the EmaTetun participate actively in developing up their world as well as a system of beliefs and outlook on life and their world.

The basic philosophy or outlook on life of the Ema Tetun, as a traditional agrarian community, is for these people to believe in the existence of a cohesive and participative interdependence, first, between human beings and the universe with everything in it including the magical forces surrounding people; secondly, between human beings and their fellows in the microcosmos or the real word as well as the spirits of ancestors and members of the uma (the village clan house or the kin group) who have preceded the living to the supernatural world; and thirdly, between human beings and the Supreme Being who is of a transcendental nature. This outlook on life is admittedly still imbued with a strategy of thinking of a magical-mythical-monistic nature. This dyadic or tryadic (two-sided or twin and three sided) relationship having homeostatic equilibrium, since it emphasizes balance and harmony in relationships. The dyadic (twin) relationships should be maintained to preserve balance, harmony, altruism and orderliness between the macrocosmos called lalean (firmament) and the microcosmos called raiklaran (the earth). Orderliness and harmony in the dyadic interrelationship are absolutely required for, without them, chaos and disasters would take over.

       Orderliness in the balance of relationships is also realized in the order of the natural universe and in the social order in a dyadic relationship pattern such as those between men and women, parent and child, husband and wife, day and night, east and west, light and darkness, black and white, life and death, etc. The essential idea of interrelationships of interdependence and harmony in the natural and the social order in the anthropological perspective is known as, dual or dualistic cosmology, which refers to two universal principles, which though different, are complementary and mutually enlivening. Essentially, the paradigm of the dyadic homeostatic equilibrium relationship has the aims:

    1) to preserve relationships of balance and orderliness between the Fehalaran social order and the Highest Being, the God of the Sky, the Source and Sustainer of all existence and life. After embracing Catholicism, the Ema Tetun started to call the Highest Being in their prayers by the name Nai Maromak (the Light-Giving King). Before this they knew the Highest Being as the God of the sky who is “the Holiest and very Omnipotent” (Nai Luli Waik, Nai Manas Waik), Who stays far above the firmament. People are not worthy and capable of approaching Him. This powerlessness of human beings is expressed by an attitude of resignation and humility. They call the Highest Being by the expression in symbolic and ritual language as follows: Nai Fitun Nain, Nai Fulan Nain; Ne’e leten ba, ne’e as ba; Lolo liman la to’o, bi’i ain la dai (Oh, king, you who are Lord of the stars and the moon, you who are up there above, in the heights above, we are powerless to reach up to you by stretching up our hands, we cannot get to you by rising on tiptoe). The concrete form of people’s attitude to life, by which to maintain a balanced relationship with the Highest Being, is to take an attitude of surrender and subservience, to give offerings, and always to put in practice good values of living as contained in adat or customary laws and norms in pure form with all their consequences.

   2) to maintain balanced relationships with fellow humans in social life through actions taken to preserve goodwill and a tane-malu (shoulder to shoulder) disposition which is an attitude of readiness for mutual assistance. Such relationships should also be maintained with the souls of ancestors and uma members who have passed away and are now in the sacred world beyond which is full of tranquility and peace, with the attitude of goodwill shown by practices of worship and offerings. In the cosmic world, the individual’s personality is assimilated into the personality of society, which is included as a part of the household family, the clan or the cosmos. Private initiative in making decisions to make arrangements for anyone himself is not approved of. The position and function of each member is already determined in the social structure. Individual personalities disappear behind the institutionalized adat roles. These official roles are used as mechanisms functioning for the integration of each individual in the social unit or system. Decisions are in the hands of parents or elders, the kin and the adat leaders. In important matters concerning the fate of society or the public, decisions are made through a collective process by a council in an adat consultation called mon metan (literally, mon = clear, and metan = black, which symbolizes justice or just decision, and so, mon metan means a clear or just decision) in which the participants are adat elders called makoan. The decision of the adat council has to be obeyed by everybody. Conformity has to be demonstrated to avoid social conflict that may disturb the stability of the social order.

Functions and roles that are definite and unequivocal are neatly arranged in the structure and organization of Fehalaran community. All are included in the system of cultural values (kaneter no kataek) and the adat law or customary law (ukun no badu) which contains values, norms and rules that are unequivocal and detailed in the manner of a general reference mechanism or guide by which to determine the behavior of members of the society so that they may always be obedient and conformist. For each violation there is an unfailing adat sanction carried out resolutely and without regard for person. Usually, an adat sanction is given in the form of a fine, known as tusan.

       Anything that cannot be overcome is always connected with the action of nature spirits or jinn caretakers coming from jungles or haunted places. The destructive forces coming from the jinns have to be countered by a magic force that may be obtained through the clan cult house called the uma kukun or uma lulik. The magical force can be obtained from the person who possesses white magic and he is called the makdok.

 3)  to preserve a balanced relationship with the universe, the natural environment and all magical forces in the surroundings, which can be realized through concrete actions by which these traditionally agrarian people refrain from highhandedly devastating nature, particularly places and natural objects considered sacred since they each have a jinn caretaker called a rai-na’in (meaning, owner of the land). Disaster may come from the jinn caretaker in the case of actions that disturb nature or the sacred places. Conserving natural wealth is an obligation in adat law. Violators of adat law will get a definite sanction consisting of an adat fine or a tusan. Asking permission from the jinn caretaker is absolutely necessary, and is to be done through a ceremony of offering of an animal victim called sera or laku, for anyone who wants to engage in business by making use of products from the places considered secret.

 PICT0176.jpg

5. Modernization and Social Transformation

 

In this era there is no social group that has not experienced change. The cultures of nations all over the world have undergone currents of change that are more and more dynamic, complex, worldwide in scale, and tending to be global. This current of change continues to attack and trample, upsetting and ruthlessly sweeping away local traditional culture. This development, which is getting more and more rapid has basically been triggered and propelled by advances in the economy and in science and technology, particularly communication and transportation technology. This is one of the forces or factors of change, which are external in nature. Another factor of change, one of a group of internal ones called sociogenic factors, which come from the society itself, is that of national development and modernization.

The Indonesian nation carried out national development and modernization for 25 years since 1969. This has resulted in many fields of physical and material advancements as well as those in domains of a mental-spiritual, social and cultural aspect. However there have occurred various kinds of disparity, and imbalance as well as other negative impacts. When the New Order (ORBA = ORDE BARU) regime under the former President Soeharto fell in 1998, Indonesia experienced a national crisis of a multi-dimensional nature in the fields of economics, politics, law, fundamental human rights, morality and socio-cultural affairs.

       The impact of modern of culture may be likened to a two-sided coin. On one side the impact of modern culture has already produced many technological and material products, but on the other side has created various weaknesses and problems that have to be paid dearly. The impact of change in socio-cultural fields has given rise to a number of negative phenomena undergone by people in West Timor as an integral part of Indonesia as a nation and these may be described as follows:  

    1), a weakening of affinity and kinship ties between members of an uma hun or uma manaran (core house / village clan house / community house) as well as those binding them to the original social environment of the clan, and the tendency of individualization of the basic household family (called the uma kain). This change has often given rise to conflicts between uma hun or uma manaran members, which have been aggravated by their competing for possession of clan-owned land and heirlooms left behind by ancestors.  Heirlooms considered sacred have been sold as antiques. No recognition is given to taboos (luli) any longer. The uma hun / uma manaran as the symbol of a community alliance, the basis for fostering customs and traditions and for forming moral character and strengthening young people’s personalities, has lost its meaning and role. The incidence of these negative phenomena has been caused by change from a value orientation towards social cohesion to one that is individualistic and materialistic. This constitutes a success for the materialistic-secular values in modernity.     

     2), displacement of the original noble values of society. There has occurred a crisis in the noble indigenous moral values of honesty, simplicity, diligence at hard work, willingness to engage in mutual help, to take responsibility, to respect law and order, to respect other people’s right to live, including their right to their natural surroundings and all its wealth. 

    3) loss of the functions and role of Adat Institutions, those usually carried out by adat caretakers or mentors such as the na’i (local prince) in the uma metan (palace) and the fukun (clan head) in the uma manaran (village clan house). The uma is the center of culture and life of adat fungsionaries as the protector of the community and the administrator of adat law or customary law. As a result of the negative social impact of technological modernization, the fungsionaries of adat have lost their functions and the uma metan and uma manaran have also lost their function and meaning as instruments of social cohesion.

Aside from these, the educational institutions charged with administrating formal education are not yet functioning well as means for forming well-rounded personalities, people who have in themselves a balanced integration of the values of logic, ethics and aesthetics. Logic has the function of forming people with a perspective on advancement because such people possess mastery of science and technology; ethics forms people with morality and noble characters, and aesthetics creates skills in the pupils such that he can take independent initiative in doing work. The chief weakness in the results of education is the creation of marginal people whose mastery of their fields as well as the quality of mastery is inadequate and whose morals and character are frail and easily broken.          

All the problems pictured above are a result of the crisis in law and morals nationally known as KKN, an acronym meaning Korupsi (Corruption), Kolusi (Collusion) and Nepotisme (Nepotism). If scrutinized attentively, the crisis in values undergone by adat communities, particularly their younger generation has its main source in the crisis in law and morals. Law and morals are being ignored in modern Indonesian life such that they cannot function as firm foundations on which a great Indonesian nation can stand.

 

 

6. Adoption of Christianity

 

What is the impact of the process of cultural contact between Christian culture and the cosmic culture of West Timor? Has there occurred an acculturation process in which a cultural pattern dominates over another, as has happened in the case of western culture with various traditional ethnic cultures, in which the industrial-rational and modern western culture dominates over the traditional ethnic cultures considered to be irrational? This aspect is highly interesting to attend to when we speak of cultural contact between the Christian cultural pattern and the cosmic culture of the traditional ethnic groups.   

Euphoria has been high regarding evangelical enculturation by which the Church has endeavored to adopt indigenous cultural traditions and values not in conflict with the beliefs and teachings of the Catholic faith, and to adapt them for inculcation in Catholic liturgy. Recently such endeavors have also been engaged in intensively by other Christian churches in West Timor. Evangelical enculturation has been going on since Vatican Council II in Rome in 1963, the Council having emphasized this integration of local cultural values and traditions with Church liturgy as far as possible. The main aim of evangelical enculturation is to eliminate by stages the dualism in experiencing the faith among the Catholic laity. Although the evangelization process has been going on for more than a hundred years in West Timor, still dualism in belief is still markedly shown in common practices particularly in rural areas where the people are still strongly attached to their adat and customary law, a collection of prescriptions for living. Facts show that while Christians may go to church on Sunday morning, nevertheless on other days they engage in sacrificial rites of offering in which an animal victim is sacrificed in the clan cult house or in village clan house.      

Through evangelical enculturation, the Church always attempts to eliminate dualism in the faithful’s experience of the faith. Concrete measures for doing so are taken by adoption and integration in liturgical ceremonies of local cultural values, such as having folk dances performed in accompaniment of the ritual of offering during the Mass, the celebrant’s wearing adat cloth motifs on his ritual garments in conducting liturgical ceremonies, adopting folk song motifs for church hymns, and using the local vernacular for “enculturative” prayers and the sermons of the priests.

The uma manaran or village clan house and the uma kukun, uma lulik or the clan cult house is a center of culture in the life of a traditional community. The uma serves as a symbol of unity in their lives of kinship affinity, as a center of guidance and socialization in customary law and norms of the clan members, and as the place for holding ceremonies, worshiping and communicating with ancestors. That is why Levi Straus called such kin groups as le maison societe or house societies ( Carsten,Janet et all, 1995: p.1 ). Periodic visits to the uma manaran and the uma lulik are of great significance for two reasons, first, it is on such occasions that the Ema Tetun feel able to obtain matak no malirin (literally, greenness and coolness) by means of various ceremonies such as the tau manas  or  kaba  (= anointment). At a philosophical level, matak no malirin symbolizes health in its widest sense. In anthropology, matak no malirin is rendered into translations of varying meaning such as “energy for living”, “the spirit of life”, “the source of life”, “the energy of the cosmos” and “enthusiasm.” Therefore, the Ema Tetun’s expression of ba uma (going home for a visit) philosophically means going back to one’s place of origin, going back to the source of life, returning to one’s identity in community living. The second reason is that periodic visits to the Uma (Uma Manaran, Uma Hun or Uma Lulik) constitute special opportunities for all uma members to renew and reenforce kinship ties as those coming from the same origin. In Lia Tetun such visits are characterized as klibur uma hun ida (literally, reunion of those from the same source), recounting their origins or hodi tatoli malu no hodi hatutan husar binan ba malu (meaning, to bind each other by retying their fraternal bonds since they all come from “the same umbilical cord.”)

The functions and symbolic meanings of the uma manaran or uma lulik through the evangelical enculturation process have been enhanced by its use as center for guidance in the faith and in personal character of the uma members. Hanging or attaching a cross with a corpus on the main house post of the uma lulik (as the clan cult house) or the uma manaran (as the village clan house) has been started as a practice, together with holy pictures and statues, replacing the traditional sacred objects as media for getting to know God who is transcendent but immanent as taught in the Acts of the Apostles, chapter 17, verse 23. “Eculturative” liturgy celebration of the Mass is done at important Church holy days or other such occasions, such as Easter, Pentecost, ordination of new priests, pronouncement of perpetual vows by nuns, celebration of the parish anniversary, etc.   

Weddings, which by tradition used to be performed in the Uma Manaran  (village clan  house) by the bride and groom’s stepping over pig’s blood and mutually pledging fidelity, are now done in church  through the ceremony of the Sacrament of matrimony officiated by a priest. But in an attitude of respect for adat and tradition the Church will only perform a marriage when the adat constituent regarding the dowry (bride wealth) is already settled. It should be noted that in the diocese of Atambua, the Church participates in determining the quantity of the dowry so that it may not lose its original meaning as a symbol of social interchange uniting in a bond of kinship the two parties of the couple to be married.

Aside from the activity of evangelical enculturation, the Church also actively encourages the faithful’s awareness, particularly the young people, to acknowledge and deepen their faith through other activities such as making a custom of studying the Holy Scriptures, holding regular communal prayer meetings at the level of the lay group, sharing experiences, etc.

 

7.  Ecumenical and Inter-Religion Communication

 

1.   To foster a mutual ecumenical attitude between Christian churches such as Catholic, Reformed churches, Pentecost and several other denominations, periodic exchanges of speaking forums are held during important church celebrations such as Christmas, Easter and Pentecost in which a Catholic priest preaches a sermon in a Protestant church and at the same time a Protestant minister also delivers a sermon in a Catholic church. On these occasions, a choir accompanies the preacher to the church and sings hymns before the faithful.

Such interchanges are also done between lecturers and between students in theological education, in pastoral meetings or ecumenical liturgy celebrations outside of the Mass. Mixed marriages often occur, with the wedding ceremony held in the Catholic Church for the reason that marriage is a Sacrament.

2.   Periodic meetings between believers are held through a forum named, A Cooperative Forum Inter Religions. Such meetings are usually held for prevention of conflicts with a religious cast, for defending the violation of the fundamental human rights, and to work together at activities like reforestation and conserving the environment.

 

8. Church Strategy and Role in Developing the Faithful in This Modern Indonesia Era

          The Church has a vision and mission that the spearhead of pastoral development is improvement in meeting people’s requirements in an integrated manner, whatever these needs may be, whether spiritual or material. The Church constantly tries to enhance people’s quality of life.

8.1 In the Socio-economic Field. To enhance the quality of life, the Church engages in activities addressing economic needs through a development organization called a Committee for Socio-Economic Development (PPSL-SOSEK) that encourages cooperative ventures like Credit Unions as an ideal model for mutual help in developing economic matters. A constraint faced by the Church is that the Local Government is not yet willing to cooperate with the local church in regional development in amelioration of poverty. The Regional Government on its part is still project-minded. The people’s cast of thinking is directed to consumption, not being able to think in an economical way yet. The Church in this age actively takes part in economic development directed at the people since facts have shown that the majority of the faithful, particularly those in the rural areas of the present day, are still below the poverty line in family income.  The Church is apprehensive about the marginal groups made up of ordinary people having to live difficult lives as a result of the gap between rich and poor getting wider.

8.2  In the Fields of Politics, Law and Fundamental Human Rights (HAM,Hak Asasi Manusia). In political life, the Church endeavors to be a moral force and moderator in regard to participants in politics who are Christian. Objective experience shows that in this era the Government does not countenance criticism. Many government officials refuse to accept criticism. Every criticism on the right and of injustice practices are considered to be an insult and calumny, and so, the vocal critic is forced to deal with the law. In giving criticism, the Church always bases its opinion on Catholic moral teachings.

In efforts to uphold the law and fundamental human rights (HAM), the Church always lets its prophetic voice be heard, that is, always takes a resolute stand in defense of what is right and just and persistently denounces all forms of practices of falsifying the facts of truth and justice and of arbitrarily violating law and Fundamental Human Right (HAM). To uphold the law and defend truth and justice, the Church has formed several organizations, such as, Lembaga Justitia (Institution of Justice), forum untuk kebenaran dan keadilan (forum for defending truth and justice) in each Diocese.

8.3 In the Fields of Education and Medical Service. The Church in the Diocese of Atambua, as in Indonesia as a whole, plays an outstanding role in the fields of education and medical service. All Catholic schools in the dioceses of Atambua and Kupang, which are many in number, are under the auspices of a number of foundations (yayasan). The Church’s contribution to the fields of education and health, and amelioration of poverty as well, has been great since colonial days and measures taken in these fields are increasing in this era. Data show that the Church’s endeavors in this direction are getting more widespread, particularly in developing various educational strata from kindergarten to university. A model of education developed by the Church always has its basis on Her own social teaching, which is to foster advancements of people to be in possession of knowledge, morality and culture. However, besides these admirable advancements, there are still many obstacles, constraints and difficulties have to be overcome. One of them is the fact that many people still consider the endeavor to be obligatory charity.

Since there are parents who really cannot afford to pay school fees assessed to be too high, the Yayasan (Foundation) has set up a policy of cross subsidies by categorizing capacity to pay and the corresponding amount that has to be paid by each income group. Thus the rich partly pay for the poor. All educational foundations under Diocese auspices continue to make efforts to develop wider participation by the people in the community, and so, the educational institutions are getting more independent in attitude, and the people are more and more getting to have a more productive and creative way of thinking.

 

9.  Closing Comments

           The contact that occurred between the Judeo-Christian culture from Europe and the cosmic culture of a traditional agrarian culture in West Timor in the early nineteenth century, and which has been going on since then, has resulted in many changes in the tradition connected with indigenous cultural values and the original belief system of the ethnic groups in West Timor.

The process of promoting the Gospel according to biblical enlightenment, and motivated by the Church’s social teachings and the decisions of Vatican Council II in Rome in 1963-1965, has given a new vitality and dynamism to the Church’s present-day life in Indonesia. Vatican Council II in particular has given encouragement to the Church always to respect local culture. Through the process of enculturation, the Church has adopted and integrated many cultural values not in conflict with Church tenets into Church liturgy.  The process known in Catholic circles as evangelical enculturation or as theological contextualization in the reformed churches has had the basic aim of eliminating dualism in experiencing the Faith and establishing a new firmament for experiencing and practicing the true Christian faith. The enculturation process has been going on with a great deal of enthusiasm in the Indonesian churches of the age.

The meeting of the two patterns of culture has resulted in a syncretism of culture, the occurrence of a synthesis of native cultural values and beliefs with Christian values. It can be averred that a harmonious union has occurred between the two cultural patterns. The inhabitants of West Timor willingly accept the theological enculturation process since they are aware that their culture and identity have not been swept away but conserved and given a new meaning. In this context the Church has the role not only of a pioneer in spreading the Gospel but also as a conserver of their heritage of cultural wealth and as enlightener in regard to their dignity and identity.

The Church’s role is getting more important in this era of a modern Indonesian that is   highly progressive and dynamic and where the indigenous social structure and culture is undergoing an upheaval and the impact of shattering events. Local societies are facing the threat of their identity’s being swept away by the hard and rapid impact of the current of modern industrial culture, which is materialistic and secular and the globalization of culture, which has become worldwide.  

In facing the challenge that is getting more and more difficult because of upheavals in the cosmological order, the social order and that of cultural, mental and spiritual values in the society of modern Indonesia in this era, it is important for the Christian Churches in Indonesia to get involved and participate more actively whether in mental and spiritual advancement or in development in the spheres of economics, politics, law and social life. In contributing criticisms or actions dealing with problems in these fields, the aforesaid religious groups should work together within an ecumenical league.

     With biblical enlightenment and motivation, we hope that the Christian churches in Modern Indonesia may persevere in facing the challenges of the age and, with prophetic zest, continue to participate in building up a modern Indonesia-that is democratic and imbued with social justice, morality and refinement. Keeping an attitude of not countenancing defeat, the Church and its adherents should continue to make efforts to strengthen and maintain their identity of integrity in the presence of Christian culture and moral strength, particularly through education, communication and other social work which have all this time been their field of service.   

 

-REFERENCES CITED

 

Carsten, Janet, and Stephen Hugh-Jones (Editors), 1995: About the House: Levi-Strauss and Beyond. Published by Cambridge University Press, Melbourne.

Fox, James J., 1977: Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Translated from English into Indonesian by Ling Matsay. Published (1996) by Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Kirchberger, Dr. Georg, SVD, and Dr. John Mansford Prior, SVD (Editors), 1996: Iman dan

        Transformasi Budaya. Published by Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.

Liliweri, Dr. Alo, M.S. and P. Drs. Gregor Neonbasu, SVD, 1994: Perspektif Pembangunan: Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur. Published by Yayasan Citra Insan Pembaru, Kupang.

Peursen, Prof. Dr. C.A. van., 1976: Strategi Kebudayaan. Translated from Dutch into Indonesian by Dick

          Hartoko. Jointly published by Penerbitan Kanisius, Yogyakarta, and Bpk Gunung Mulia, Jakarta.

Seran,Herman Joseph, Hakserak: 245-261, in Signe Howell (Ed), 1996: For the Sake of Our Futur

                             e    Published by Research School CNWS Leiden, The Netherlands

---------------------, EMA TETUN: Continuity and Change in the Social and Cultural Life of a   Traditional Society in Central Timor, Eastern Indonesia, 2004 (Unpublished material)



[1] This paper was presented in an international conference on “Christianity in Modern Indonesia” in Frobenius Institute und des Historische Ethnologie in Johann Wolfgang Goethe Universität in Frankfurt/Main, Germany, in December 2003. 

The principal data in this essay are based on field research in the former traditional kingdom of Fehalaran, in the kabupaten or adminitrative district of Belu, regarding the customs and traditions of the Ema Tetun (Tetunese), as well as on interviews with Rev. Father Justus Asa, SVD. the vicar general of the diocese of Atambua, regarding enculturation of the Scriptures as part of the present day’s evangelization process. The Bishop of Atambua is the highest Catholic Church authority here, with the diocese of Atambua heading it over an ecclesiastical territory that includes the kabupatens or the administrative District of Belu and North Central Timor (TTU, Timor Tengah Utara). The focus of investigation in this paper is on the results of a meeting between Christian culture and the cosmic culture in West Timor. For a research sample, attention is primarily given to the Tetun ethnic group in the kabupaten of Belu where such contact has been going on for over a hundred years. In her evangelization process in West Timor, the Church has acted according to the tenet of Evangelical Enculturation. This basic Church position has resulted in opening evangelical doors to “fresh air” particularly after Vatican Council II in 1963-1965 in Rome. Vatican Council II has inspired the Church to keep herself more open to the outside world and to appreciate the variety of ethnic cultures as an invaluable wealth by which human beings can take action and express their unique identities in this modern world. The process of evangelical enculturation has resulted in many changes in meaning of indigenous cultural values, traditional adat ceremonies and mythological symbols of the Ema Tetun as well as those of other ethnic groups in West Timor within the context of modern life in Indonesia. However, through the church strategy of evangelical enculturation, the Church has not only changed many spiritual outlooks on life of the indigenous inhabitants but has also taken on the role of a milieu for preserving and conserving positive cultural values of indigenous customs and traditions insofar as these still hold meaning relevant to various demands of the present era. The Christian Churches of the age play the very important role of serving as a mechanism of control over the headlong swiftness of fluctuation in and sweeping away of local cultural values through the process of modernization and globalization going on in this beginning century.
Diesen Post teilen
Repost0