Overblog
Edit post Folge diesem Blog Administration + Create my blog

Über Diesen Blog

  • : MANUAMAN LAKAAN NAIN - SANG PESIARAH
  • : My own writings - about: culture and anthropology, philosophy and theology,history, religion etc., in indonesian, german, english and Tetun (Timor), etc. Seperti gado-gado - wie gemischter Salat - semuanya dapat dibaca dalam blog in - also alles in Allem .... enjoy aja - viel Spaß dabei -
  • Kontakt

Profil

  • MANUAMAN LAKAAN - (LORO BEREK)
  • Mag. Theol. Puplius M. Buru Loro Berek alumnus STFK Ledalero, alumnus universitas Wina-Austria. Berkarya di Austria. Kontak: pupliusmeinrad@yahoo.com
Interesse: sejarah-budaya, Lingkungan hidup,  Keadilan HAM perdamaian - Filsafat - teologi
  • Mag. Theol. Puplius M. Buru Loro Berek alumnus STFK Ledalero, alumnus universitas Wina-Austria. Berkarya di Austria. Kontak: pupliusmeinrad@yahoo.com Interesse: sejarah-budaya, Lingkungan hidup, Keadilan HAM perdamaian - Filsafat - teologi

Suchen

Archiv

15. November 2011 2 15 /11 /November /2011 17:48


Kotbah P. Dr. Paulus Budi Kleden pada

Misa syukur Keluarga P. Puplius M. Buru-Berek 

di Lahurus (24 Juli 2011)

 

 

IMG_3390.JPGKhotbah Misa Syukur Keluarga P. Puplius Meinrad Buru, SVD

Lahurus, 24 Juli 2011

Bacaan: I Raj, 3:5.7-12;Rom, 8:28-30; Yoh 15:9-17

Motto: “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku-lah yang memilih kamu”

 

Sebelum bergabung dengan SVD di Novisiat SVD di Nenuk pada tahun 1999, selama setahun Puplius yang baru menamatkan pendidikannya di SMA Seminari Lalian melibatkan diri dalam gelombang demokrasi yang baru terasa waktu itu, dengan menjadi fungsionaris sebuah partai politik. Saat itu, secara intensif dia berurusan dengan soal pilih-memilih dalam suksesi politik. Proses pemilihan yang biasanya menelan banyak biaya finansial dan sosial ini bertujuan mendapatkan pemimpin yang sungguh berkualitas bagi seluruh warga. Namun, sayangnya, tidak jarang terdengar ungkapan setelah seseorang terpilih: Bukan kamu yang pilih saya, kamu tidak mendukung saya, maka saya tidak akan memperhatikan kamu. Saya mendahulukan orang-orang dan wilayah yang mendukung dan pilih saya. Membalas jasa massa pendukung dan para anggota tim sukses menyita banyak perhatian sehingga kepentingan seluruh warga mudah dikorbankan, apalagi kepentingan warga yang tidak memilih dia. Dan kalau pun toh kamu mendapat kucuran dana dan pembagian proyek pembangunan, itu hanya karena kemurahan hati saya, itu hanya karena aku yang pilih kamu. Kamu mesti tahu diri dan mesti mengubah sikapmu pada pemilihan kali berikut, sebab yang kamu rasakan sekarang adalah semata-mata karena aku pilih kamu. Maka, gilirannya mesti tiba, bahwa kamu pilih aku. Pilih memilih mudah menjadi sebuah praktik perdagangan yang menyimpang dari tujuannya yang sebenarnya.

Tentu saja, sikap seperti ini tidak hanya dijumpai dalam lingkungan politik. Tidak terkecuali para pelayan pastoral dalam Gereja dapat terjebak dalam gejala yang sama. Bukan kamu yang pilih aku menjadi sebuah ungkapan kesewenang-wenangan terhadap umat atau sikap dan perlakuan tidak adil terhadap orang-orang yang dipandang tidak mendukungnya.

Kalau demikian, bagaimana mesti memahami ungkapan Yesus: “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku-lah yang memilih kamu?”

Untuk mengartikan pernyataan Yesus tersebut pada kesempatan misa syukur keluarga seorang imam, biarawan misionaris seperti ini, saya memilih menggunakan dua simbol.

Pertama, kita lihat sebuah globe, bola bumi. Sejak Copernicus, para cerdik pandai mengatakan kepada kita bahwa bumi berputar pada porosnya, dan serentak berputar mengelilingi matahari. Ada poros, ada titik tengah yang menyatukan. Itulah sebuah gambaran yang penting untuk kehidupan manusia. Untuk menjadi manusia yang utuh dan bisa dipercaya, setiap orang mesti memiliki poros, pusat diri yang menentukan identitasnya. Orang perlu memiliki poros dalam hidupnya. Seluruh perbuatan dan penampilannya menunjukkan secara jelas siapa dirinya dan apa yang hendak dilakukannya dengan hidupnya.   

Teori tentang matahari sebagai pusat tata surya adalah sebuah penemuan yang menggoncangkan umat manusia, bukan hanya karena bertentangan dengan ajaran agama waktu itu, melainkan juga dan terutama, karena manusia mesti mengubah pandangan mengenai dirinya sendiri. Manusia bukanlah pusat segalanya. Dia tak boleh bertingkah, seolah dirinya adalah titik tengah dan pusat segala komando.

Bersamaan dengan itu menjadi jelas pula, bahwa matahari adalah sumber cahaya, yang dipantulkan bumi dan planet-planet lainnya. Bumi dan bulan tak memiliki cahaya dalam dirinya sendiri. Sebab itu, malam dan kegelapan meliputi belahan bumi yang sedang tidak menghadap matahari. Terarah kepada matahari berarti mendapat terang darinya, menjadi bercahaya dan memantulkan terang itu. Yang memantulkan terang adalah yang menerima terang; yang bersinar harus terlebih dahulu disinari.

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku-lah yang memilih kamu” kata Yesus, dan ini adalah juga pengakuan iman imam baru kita. Tuhan memilih, karena Dia adalah kasih, sebagaimana dikatakan dalam surat pertama Santo Yohanes, dan karena Dia mengasihi tanpa pamrih. Tuhanlah satu-satunya sumber cinta yang tidak akan mengering karena amarah dan ketersinggungan. Hanya dalam keterarahan kepada sang sumber cinta, kita, bagai bola bumi yang terarah kepada matahari, pun sanggup memantulkan cinta kepada yang lain. Kalau kita mengarahkan diri kepada-Nya, kita pun sanggup saling memberi hati satu bagi yang lain, dapat mencintai dan mengampuni. Tuhan memilih kita untuk mencinta. Orang yang mencinta tidak menjadikan dirinya pusat segala sesuatu. Kita bukan Tuhan yang harus disembah. Bersama yang lain kita menyembah Tuhan. Tugas seorang imam adalah menunjuk pada Tuhan sebagai satu-satunya yang harus disembah. Seorang imam, biarawan misionaris mesti mewaspadai kecendrungan dalam dirinya untuk menjadikan dirinya sendiri pusat segala sesuatu, dan harus berani bersuara ketika ada orang atau kelompok orang menjadikan diri mereka penguasa yang tak boleh disentuh oleh kritik. 

Yesus menggunakan ungkapan tinggal ketika berbicara mengenai cinta. “Tinggallah dalam kasih-Ku. Kamu akan tinggal dalam kasih-Ku jika kamu menuruti perintah-perintah Bapa-Ku dan tinggal dalam kasih-Nya”. Mencintai berarti memberi tempat di hati, menjadikan yang dicintai pusat perhatian. Mencintai Tuhan dan sesama berarti menjadikan bumi ini tempat tinggal yang pantas bagi semua orang. Dan orang-orang yang menempati bumi ini bukan hanya orang-orang yang kita pilih karena kita suka. Kita harus membagi bumi ini, ruang kehidupan ini dengan berbagai macam orang, mereka yang kita pilih dan yang tidak kita pilih, mereka yang pilih kita dan tidak pilih kita. Semua kita memilih tanggungjawab menjadikan bumi yang hanya satu ini tempat diam yang pantas bagi semua.

Beriman berarti bersedia menghargai hidup dalam terang Allah, pemberi anugerah kehidupan itu sendiri. Beriman berarti belajar melihat bumi dan para penghuninya seperti Tuhan melihatnya. Beriman juga berarti belajar tinggal dan mengolah bumi seperti Tuhan telah membangun kemah-Nya dan tinggal di bumi. Bacaan pertama dari Kitab Pertama Raja-Raja memberikan gambaran cara mana yang Tuhan kehendaki agar kita menghuni dan tinggal di bumi. Salomo dipuji, karena dia tidak minta umur yang panjang, kekayaan atau nyawa para musuh. Usia yang panjang bagi seorang raja sama dengan masa kekuasaan yang panjang. Salomo tidak dipuji karena baginya yang terpenting bukanlah mempertahankan kekuasaan selama mungkin, menumpuk kekayaan sebanyak mungkin, atau mematahkan kekuatan orang-orang yang dipandang sebagai lawan, mereka yang berbeda pikiran dan cara hidup. Tuhan menghendaki, agar kita memperoleh kekayaan dengan cara-cara yang mengindahkan batas-batas kemampuan alam. Tidak semua yang tersimpan di perut bumi harus diambil. Yang berbeda dengan kita, yang berlainan tampang dan wataknya, yang berbeda agama dan pandangan serta pilihan politiknya, tidak boleh disingkirkan dan dihancurkan dengan berbagai cara terbuka maupun tertutup.

Tak jarang manusia saling meminggirkan, karena mau merebut posisi di pusat. Dewasa ini semakin banyak orang ditendang ke wilayah pinggiran. Mereka hanya mendapat perhatian, ketika dukungan mereka sedang diperlukan.

Mengatasi kecenderungan ini Tuhan memanggil para imam dan mengutus para misionaris ke mana saja. Melalui karya pelayanan Sabda dan Sakramen seorang imam mengingatkan manusia akan Allah sebagai satu-satunya sumber terang, akan hidup sebagai anugerah yang paling berharga, dan akan kewajiban manusia untuk menguduskan dunia dan meningkatkan kualitas kehidupan seturut kehendak Allah. Seorang misionaris menunjukkan bahwa keluhuran nilai kehidupan itu berlaku di mana-mana. Tak ada tempat di bumi ini yang menjadi tempat terkutuk, yang merupakan wilayah yang luput dari perhatian Allah. Tak ada manusia yang tak terjangkau lengan kasih Allah.

Karena tugasnya adalah menunjuk kepada sumber terang itu, maka seorang imam tidak dapat memisahkan diri dari Allah, terang yang tak terbatas itu. Paul Claudel, seorang penulis berkebangsaan Yahudi pernah berkata: “Ketika engkau tidak lagi bersatu dengan Dia yang tak terbatas, engkau akan berada pada batas; batas kehidupan, batas panggilanmu”. Seorang imam bukan sumber cahaya itu sendiri, dia bukan sumur yang selalu mengalirkan inspirasi dan kekuatan. Dia adalah pengemis, yang datang tanpa membawa apa-apa, yang menerima seluruhnya dari Tuhan: visi Allah menjadi kehendaknya, cinta Tuhan merupakan kekuatannya, sesama ciptaan Allah menjadi rekan-rekan seperjuangannya. 

Dengan ini seorang imam berdiri pada pihak orang-orang yang miskin dan menderita, yang lapar dan tersingkirkan. Seorang imam mestinya menjadi sahabat mereka yang lapar dan haus akan keadilan, yang selalu kalah dalam memperjuangkan hak-haknya.

Bagi mereka ini, hidup dan sejarah iman tidak selamanya merupakan Tabor. Tabor, bukit cahaya, memang penuh kemuliaan. Tak sulit melihat terang pada kesempatan seperti ini, dan tak susah mengakui Allah sebagai terang pada peristiwa serupa ini. Dalam pandangan kita, Tabor disandingkan dengan Golgota. Di Tabor ada kemuliaan, di Golgota ada penderitaan dan kematian, ada kesendirian dan putus asa. Di sana, di Golgota tak ada kemuliaan yang tersisa. Yang ada hanyalah kegelapan. Dan di sini, Tuhan memang tak gampang dikenal. Tak mudah menemukan Dia, melihat terang-Nya dan berkata penuh percaya diri, Tuhanlah Terangku.

Di tengah situasi seperti ini, sekali lagi bola bumi kembali menjadi inspirasi. Ada sisi yang diselimuti kegelapan, namun sisi itu pernah mengalami terang dan akan kembali dipenuhi cahaya. Seperti semua orang lain, seorang imam misionaris pun hanya bertahan di tengah situasi kegelapan dan kesendirian, apabila dia tidak melupakan saat-saat terang seperti perayaan tahbisan dan syukur imamatnya, dan tak kehilangan harapan akan pemenuhan janji Tuhan yang menetapkannya menjadi terang bangsa-bangsa.

Kedua, kita melihat cermin. Cahaya tidak hanya untuk melihat orang lain, tetapi juga diri sendiri. Melihat diri sendiri tak mungkin terjadi tanpa cermin. Cermin memantulkan gambar diri sendiri. Tak jarang kita perlu bercermin diri untuk tahu siapa dan bagaimana kita. Memastikan keadaan diri sendiri, itu penting. Malah demikian penting, sehingga ada yang merasa harus berdiri berkali-kali di depan cermin.

Cermin memantulkan sesuatu apa adanya. Dia tak menambah, juga tidak mengurangi sesuatu. Cermin adalah tanda kejujuran. Kejujuran cermin bisa meyakitkan, bisa juga sangat membanggakan dan memberanikan.

Santo Yohanes dalam Injil tadi menujukkan dengan jelas bahwa cermin itu adalah Allah sendiri. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku mengasihi kamu… Hendaklah kamu mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu”. Di tengah keraguan entahkah kita sungguh dikasihi, penginjil mengajak kita bercermin pada Kristus, yang mengasihi kita sampai rela menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Yang terpantul, yang kita lihat pada Kristus adalah Allah yang mengasihi. Kita adalah para sahabat yang berharga di mata Allah. Saat kita mengalami kegoyahan, Santo Paulus dalam bacaan kedua itu mengingatkan untuk bercermin pada Allah yang telah memilih kita sedari awal dan tidak akan mngkhianati pilihannya. Dengan ini kita diyakinkan akan tugas yang istimewa, akan keluhuran diri dan panggilan kita semua sebagai manusia dan ciptaan yang ditebus dan dikasihi Tuhan. Betapapun kecil dan tak berharga di mata manusia, di hadapan Allah dia adalah orang pilihan Allah yang ditetapkan untuk menyatakan keagungan Allah kepada seluruh dunia.

Seorang imam bertugas mengingatkan kita semua bahwa hanya Allah-lah cermin yang sejati, padanya kita dapat melihat diri kita sendiri. Betapapun pentingnya persahabatan antarmanusia, betapapun baiknya kita dapat saling mengenal, kita tak pernah dapat memantulkan diri seseorang apa adanya. Karena, selalu ada setumpuk kepentingan dan segudang pertimbangan, yang mempengaruhi pandangan kita tentang orang lain, dan itulah yang kita pantulkan. Sebaliknya, pada Tuhan yang mengenal kita sejak dalam rahim ibu, yang memanggil kita dengan nama mulai waktu pembentukan kita, kita menemukan diri apa adanya, karena kita pun boleh menunjukkan diri apa adanya.

Namun, cermin masih memantulkan satu kebenaran lain, kebenaran yang mengajak untuk berwaspada. Menurut kata orang, cermin terbuat dari kaca bening yang dilapisi sedikit emas. Hanya dengan menambah lapisan halus emas pada bagian belakangnya, sepotong kaca bening sudah berubah. Kaca bening adalah kaca yang transparan. Melalui kaca bening kita melihat semua yang lain di depan mata. Tetapi, setelah dipolesi sedikit emas, kita hanya melihat diri sendiri dan apa yang ada di belakang kita. Emas, perak, uang atau mamon memang dapat mengubah segalanya. Pandangan yang sebelumnya terarah ke luar, kepada orang lain dan kebutuhannya, akan berubah menjadi pandangan yang hanya memantulkan diri sendiri dan berbagai keinginannya.

Tetap mempertahankan pandangan yang terarah kepada Tuhan, melihat orang lain dan turut memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan hidup manusia, menjadi tugas seorang imam misionaris. Dia tidak menjadi seperti Petrus, yang mau bahagia sendiri dan membangun kemah di bukit cahaya. Dia tidak mencari kenyamanan sendiri karena terpesona menyaksikan sebuah kemuliaan. Dia harus kembali, masuk ke dunia manusia, menyusuri lorong-lorong kehidupan yang keras, dan berbicara lantang melawan egoisme dan ketamakan.

Melawan egoisme dan ketamakan bukanlah hal gampang. Seorang imam misionaris merasakan perjuangan berat dalam dirinya, sebab bukan tak mustahil, dia sendiri tak luput dari godaan untuk melihat diri sendiri kalau sudah berhadapan dengan uang, lupa akan yang lain ketika sudah disuguhi hidup yang nyaman.

Kekuasaan dan kekayaan dapat menempatkan diri sebagai sumber cahaya yang menarik perhatian, dan seperti bumi berputar mengelilingi matahari, kita pun dapat saja menari seturut irama yang ditabuh orang-orang yang menyediakan kekayaan dan kenyamanan hidup bagi kita. Hidup yang sederhana, bagi para imam, bukanlah hal yang mudah. Itu harus tetap diperjuangkan.

Ein paar Worte auf Deutsch. Das Leben eines jeden Menschen, auch das eines Priesters, Ordensmanns und Missionars, ist wie ein Weltkugel. Er hat eine Mitte, es dreht sich um sich, aber zurgleichen Zeit, er dreht sich um die Sonne. Wir muessen eine Mitte haben, aber wir sind nicht der Mittelpunkt. Unser Zeuge als Christen ist, zu zeigen, dass Gott der einzige Mittelpunkt ist und bleibt. Die Weltkugel sagt aber auch, dass manchmal wir auch dunkle und Schattenseiten des Lebens erfahren muessen. Es gibt auch Finsternis in unserem Leben und unseren Arbeiten. Aber sie sind nicht die einzigen. Wie die Weltkugel wieder das Licht nach der Dunkelheit sieht, so auch wir koennen wir durch die dunkle Nacht des Lebens schreiten, wenn wir von der Hoffnung leben, dass das Licht wieder kommt, und dass wir dieses Licht in der Vergangenheit auch schon erfahren haben. Die Erinnerungen an das Gute in der Vergangenheit und die Hoffnung auf Gottes Licht in der Zukunft helfen uns, die Probleme des Lebens zu ertragen.

Und der Spiegel erinnert uns daran, uns im Christus als Spiegel der bedingungslosen Liebe Gottes zu sehen.

“Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku-lah yang memilih kamu”, mengasihi dunia dan manusia di dalamnya seperti Kristus mengasihi dunia dan manusia, itulah harapan kita bagi imam baru. Melihat dengan terang, dituntun oleh dan kepada terang itu dalam ziarahnya, itulah doa kita semua untuk imam baru kita. Karena, mata seorang imam biarawan misionaris bisa saja menjadi kabur, hatinya bisa terasa sesak karena bertumpuknya tugas, pikirannya menjadi kacau oleh peliknya persoalan kehidupan yang disyeringkan dengannya, lengannya kemudian menjadi terlampau pendek untuk merangkul bumi, dan kakinya mulai goyah mengukur jarak. “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku-lah yang memilih kamu”, kenangan dan harapan imam baru dan kita semua, kenangan dan harapan yang membantu melewati saat-saat kegelapan. Dan kiranya penghayatan imamatnya yang konsisten, dan pelayanan misionernya yang tanpa pamrih di Austria, membawa kasih yang meneguhkan banyak orang.

Selamat Berbahagia, Puplius!

 

 

 

Diesen Post teilen
Repost0

Kommentare