Overblog
Edit post Folge diesem Blog Administration + Create my blog

Über Diesen Blog

  • : MANUAMAN LAKAAN NAIN - SANG PESIARAH
  • : My own writings - about: culture and anthropology, philosophy and theology,history, religion etc., in indonesian, german, english and Tetun (Timor), etc. Seperti gado-gado - wie gemischter Salat - semuanya dapat dibaca dalam blog in - also alles in Allem .... enjoy aja - viel Spaß dabei -
  • Kontakt

Profil

  • MANUAMAN LAKAAN - (LORO BEREK)
  • Mag. Theol. Puplius M. Buru Loro Berek alumnus STFK Ledalero, alumnus universitas Wina-Austria. Berkarya di Austria. Kontak: pupliusmeinrad@yahoo.com
Interesse: sejarah-budaya, Lingkungan hidup,  Keadilan HAM perdamaian - Filsafat - teologi
  • Mag. Theol. Puplius M. Buru Loro Berek alumnus STFK Ledalero, alumnus universitas Wina-Austria. Berkarya di Austria. Kontak: pupliusmeinrad@yahoo.com Interesse: sejarah-budaya, Lingkungan hidup, Keadilan HAM perdamaian - Filsafat - teologi

Suchen

Archiv

19. März 2010 5 19 /03 /März /2010 23:52

 

HDP_0043.JPG(Secuil kisah dari 'pawai diam' di pusat kota Wina)


Sore ini suhu udara mencapai 14 derajat celcius. Pukul 14.15 aku menumpang kereta bawa tanah nomor tiga (U3) di stasiun Kardinal Naglplatz menuju pusat kota. Di Stephanplatz-City aku turun, lalu menyusuri Kärtnerstrasse aku berjalan ke arah Staatoper. Seperti biasa, pusat kota Wina, ibu kota Austria selalu ramai hampir 24 Jam penuh apalagi di awal musim semi seperti ini. Di sana-sini orang lalu lalang, terdengar mereka bercakap, bukan saja dalam bahasa Jerman, tetapi sesaat terdengar juga bahasa: Italia, Spanyol, Prancis, Inggris, Krasia, Polandia, Rusia, Turki dan mungkin masih dalam banyak bahasa lainnya. Mungkin seperempat dari mereka yang lalu lalang di sana berparas Asia timur, mungkin para turis dari Jepang, Cina atau dari Korea Selatan. Yah, itulah situasi pusat kota Wina, tempat di mana para turis menghabiskan waktunya untuk menyaksikan keindahan kota dengan bangunan-bangunan bergaya Barok yang sangat terkenal. Di sana para milioner dari Rusia menghabiskan uangnya untuk berbelanja. Di sana para penjudi kelas kakap mengadu nasib di dalam kasino-kasino.

Soreh ini, Jumat tanggal 19 Maret aku ke sana bukan tanpa tujuan. Atas undangan dari CSI (Christian Solidarity International) aku menyempatkan diri untuk mengikuti 'pawai diam' untuk mengungkapkan rasa solidaritas dengan umat Kristen yang ditindas. Sebelum berangkat, sempat muncul keraguan dalam diriku. „Gerade, wo die sexuellen Missbrauchfälle in der Kirche noch ganz heiß sind, gehst du zu demonstrieren für die Kirche!“ (sekarang, ketika skandal pelecehan seksual di dalam gereja masih hangat, engkau justru pergi berdemonstrasi untuk gereja), Demikian komentar seorang sahabatku ketika kuajak dia untuk mengikuti Schweigemarsch. Aku sangat cemas, jangan-jangan hanya sedikit orang yang akan mengambil bagian dalam pawai diam ini, karena semua pasti pada malu, takut diejek karena masalah pelecehen sexual di gereja-gereja Jerman dan Austria sementara hangat saat ini.

HDP_0045.JPGSingkat kata – singkat cerita, aku berjalan menuju halaman depan Staatoper, tempat di mana semua yang mengikiti demo berkumpul. Di kejauhan aku melihat banyak manusia dengan poster berwarna-warni telah memadati halaman depan Oper. Di barisan paling depan justru berdiri sang Metropolit dari Wina, Kardinal Christoph Schöborn. Ketika aku mendekat, mataku terbelalak, hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang tampak di depan mataku: seorang lelaki memegang poster yang ditancapkan pada sebatang kayu. Di poster tersebut terpampang nama tanah airku yang tercinta: INDONESIA. Indonesia disejajarkan dengan negara negara islam, di mana umat kristen di tindas, atau di mana kebebesan beragama bagi orang kristen tidak dijamin oleh negara: Mesir, Irak, Iran, Turki, Saudi Arabia, Pakistan, dll. Aku diam, merenungkan apa yang kulihat. Tanyaku dalam batin: „apa betul, kebebasan beragama bagi umat Kristen di Indonesia tidak di jamin?“ „Itu tidak benar“, semacam ada protes dari dalam nubariku.

HDP_0054.JPGAku menggabungkan diri dalam pawai diam yang panjang itu, kami berjalan melintasi Kärtnerstrasse, sona untuk pejalan kaki yang paling ramai di Wina, menuju ke Stephansdom (Katederal St. Stephan) yang menjadi pusat dari kota Wina. Di jalan seorang lelaki di sampingku menyapaku ramah, lalu bertanya, „sind Sie Vietnamese?“ „Nein“, jawabku, „ich komme aus Indonesien“. „Da muss etwas interessantes für Sie sein“, lanjut lelaki itu sambil menunjukan poster yang bertuliskan Indonesia. Dia pun terus bertany dan bertanya – dan akhirnya ia mengucapkan kegusarannya: „Di Eropa orang islam boleh bebas menjalankan kegiatan keagamaannya, dijamin pemerintah. Saya tidak mengerti, kenapa di negara-negara islam orang kristen selalu ditindas dan di anggap warga kelas dua“. Ketika dia bertanya tantang kebebasan beragama di negara islam Indonesia, aku spontan menjawabnya, „maaf, Indonesia adalah negara demokrasi – negara hukum, bukan negara islam. Saya jarang mendengar tentang penindasan terhadap orang Kristen.“ Lalu dia mulai membeberkan segalanya, tentang umat islam yang berdemo merusak gereja, tentang sulitnya mendapat ijin untuk mendirikan gereja, tentang larangan untuk beribadah di tempat umum, tentang orang islam yang mengganggu ibadah orang Kristen dan lain sebagainya. Aku bengong. Dari mana dia tahu semuanya itu. Yah sungguh heran, mereka tahu persis kasus di Indonesia yang mungkin tidak diketahui para pejabat di negaraku sendiri. Mereka tahu persis bahwa di Bekasi sana pernah ada kasus ini atau di sudut lain dari kota Jakarta pernah ada kasus itu. Ya pandangan mata dunia ini lebih tajam dari pandangan mata lokal. Dengan perasaan agak malu, aku menceritakan kenyataan di propinsiku. Di Timor Barat dan terlebih di Flores juga ada banyak orang islam yang hidup bersama orang Kristen yang mayoritas. Tapi kami hidup dalam situasi damai, orang islam boleh saja beribadah di lapangan umum, mereka boleh saja mendirikan mesjid asal sesuai aturan umum yang berlaku. Di Bali, di tengah umat Hindu yang mayoritas, orang Kristen juga tidak pernah diganggu, orang kristen bebas beribadah dan membangun gereja kalau itu dibutuhkan. Ada benarnya bahwa di sana-sini ada penindasan terhadap orang kristen, tapi itu hemat saya dilakukan dan diprovokasi oleh penganut islam fundamentalis, yang berpikiran sempit dan takut terhadap penganut agama lain.


Di Dom kami berpisah, ketika aku terlena dengan nyanyian berbahasa Arab yang dilantunkan oleh koor dari umat Kristen Koptik yang ada di Wina. Ibadah ekumenis ini dihadiri juga oleh utusan dari berbagai gereja di Austria.

Diesen Post teilen
Repost0

Kommentare